Selasa, 04 Juni 2013

Sumber Stres Kerja



Sumber Stres Kerja
Sumber  stres kerja dikenal dengan job stressor yang sangat beragam dan reaksinya beragam pula pada setiap orang. Terdapat dua faktor penyebab atau sumber muncuinya stres atau stres kerja, yaitu faktor Hngkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor lingkungan, management kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal   bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua tidak  secara  langsung  berhubungan  dengan  kondisi  pekerjaan,  namun  karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
A.    Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cendcrung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mercka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril)  dari  keluarga,  seperti  orang  tua,  mertua,  anak,  teman  dan  semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena sires. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan social yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya.
B.     Tidak  adanya  kesempatan  bcrpartisipasi  dalam  pembuatan  keputusan  di kantor.   Hal   ini   berkaitan   dengan   hak   dan   kewenangan   seseorang   dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewcnangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya.
C.     Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dart yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan  senyuman  yang  tidak  pada  konteksnya.  Dari  banyak  kasus  pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau pengamayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita.. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kclamin  cukup  tinggi,  namun  tidak  ada  undang-undang  yang  melindungmya (Baron and Greenberg dalam Margiati, 1999:72).
D.    Kondisi lingkungan  kerja. Kondisi lingkungan  kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya.   Ruangan   yang   terlalu   panas   menyebabkan   ketidaknyamanan seseorang  dalam  menjalankan  pekerjaannya,  begitu  juga  ruangan  yang  terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky dalam Margiati, 1999:73).
E.     Manajemen  yang  tidak  sehat.  Banyak  orang  yang  stres  dalam  pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin  yang  sangat  sensitif,  tidak  percaya  orang  lain (khususnya  bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam Margiati, 1999:73).
F.      Tipe   kepribadian.   Seseorang   dengan   kcpribadian   tipe   A   cenderung mengalami sires dibanding kepribadian tipe B. Bcbcrapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema kctika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999:73).
G.    Peristiwa/pengalaman  pribadi.  Stres  kerja  sering  disebabkan  pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran)  hukum.  Banyak kasus  menunjukkan  bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999:73).
Berikut ini beberapa sumber stres kerja menurut Cary Cooper (dalam Rice, 1992) yaitu :
·         Kondisi Kerja
Kondisi kerja ini meliputi kondisi kerja quantitative work overload, qualitative   work   overload,   assembli   line-   hysteria   ,   pengambilan keputusan, kondisi fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja, dan kemajuan teknologi (technostres).
Pengertian  dari  masing-masing  kondisi  kerja   tersebut   adalah sebagai berikut :
1.      Quantitative work overload
Work overload (beban kerja yang berlebihan) biasanya terbagi dua, yaitu  quantitative dan qualitative overload.  Quantitative overload adalah ketika kerja fisik pegawai melebihi kemampuan nya. Hal ini disebabkan karena pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat  banyak  dalam  waktu  yang  singkat.  Qualitative  overload terjadi ketika pekrejaan yang harus dilakukan oleh pegawai terlalu sulit dan kompleks.
2.      Assembli line- hysteria
Beban kerja yang kurang dapat terjadi karena pekerjaan yang harus dilakukan tidak menantang atau pegawai tidak lagi tertarik dan perhatian terhadap pekerjaannya.
3.      Pengambilan keputusan dan tanggungjawab
Pengambilan keputusan yang akan berdampak pada perusahaan dan pegawai sering membuat seorang manajer menjadi tertekan. Terlebih lagi apabila pengambilan putusan itu juga menuntut tanggungjawabnya,  kemungkinan   peningkatan   stres   juga   dapat terjadi.
4.      Kondisi fisik yang berbahaya
Pekerjaan seperti SAR, Polisi, penjinak bom sering berhadapan dengan stres. Mereka harus siap menghadapi bahaya fisik sewaktu- waktu.
5.   Pembagian waktu kerja
Pembagian waktu kerja kadang-kadang mengganggu ritme hidup pegawai sehari-hari, misalnya pegawai yang memperoleh jatah jam kerja berganti-ganti. Hal seperti ini tidak selalu berlaku sama bagi setiap orang  yang ada yang  mudah menyesuaikan diri, tetapi ada yang sulit sehingga menimbulkan persoalan.
6.   Stres karena kemajuan teknologi (technostres). Technostres adalah kondisi yang terjadi akibat ketidakmampuan individu atau organisasi menghadapi teknologi baru.
·         Ambiguitas Dalam Berperan
Pegawai kadang tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah yang jelas. Kondisi ini akan menjadi ancaman bagi pegawai yang berada pada masa karier tengah baya, karena harus berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya dapat menurunkan kinerja, meningkatkan ketegangan dan keinginan keluar dari pekerjaan
·         Faktor Interpersonal
Hubungan interpersonal dalam pekerjaan merupakan faktor penting untuk mencapai kepuasan kerja.  Adanya dukungan sosial dari teman sekerja, pihak manajemen maupun keluarga diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu kepedulian dari pihak manjemen pada pegawai agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.
·         Perkembangan Karier
Pegawai biasnya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karier kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya : sistem promosi yang tidak jelas, pegawai akan merasa kehilangan harapan yang dapat menimbulkan gejala perilaku stres.
·         Struktur Organisasi
Struktur organisai berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang memperdulikan inisiatif pegawai, tidak melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan dan tidak adanya dukungan bagi kreatifitas pegawai.
·         Hubungan antara pekerjaan dan rumah
Rumah adalah sebuah tempat yang nyaman yang memungkinkan membangun dan mengumpulkan semangat dari dalam diri individu untuk memenuhi kebutuhan luar. Ketika tekanan menyerang ketenangan seseorang, ini dapat memperkuat efek stres kerja. Denise Prosseau (dalam Rice, 1992). Spillover mengatakan kekurangan dukungan dari pasangan, konflik dalam rumah tangga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi stres dan karir.
Sedangkan Davis dan Newstrom (dalam Margiati, 1999:73) stres kerja disebabkan:
a.       Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan  kemampuan  baik  fisik  maupun  keahlian  dan  waktu  yang  tersedia  bagi karyawan.
b.      Supervisor yang kurang pandai. Scorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia  akan  membimbing  dan  memberi  pengarahan  atau  instruksi  secara  baik  dan benar.
c.       Terbatasnya      waktu      dalam      mengerjakan      pekerjaan.      Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki.  Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan.
d.       Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai.  Faktor ini berkaitan dengan hak  dan  kewajiban  karyawan.  Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
e.       Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui  tujuan  dari  pekerjaan,  apa  yang  diharapkan  untuk  dikerjakan  serta scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
f.       Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai  prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme).
g.      Frustrasi.   Dalam   lingkungan   kerja,   perasaan   frustrasi   memang   bisa disebabkan banyak   faktor.   Faktor   yang   diduga   berkaitan   dengan   frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima.
h.      Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal terscbul tidak umum. Situasi ini bisatimbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya   dan   status   jabatan   serta   status   perusahaannya   berada   di   bawah perusahaan pertama.
i.        Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar