Sumber Stres
Kerja
Sumber stres kerja
dikenal dengan job stressor yang sangat beragam dan reaksinya beragam pula pada
setiap orang. Terdapat dua faktor penyebab atau sumber muncuinya stres atau
stres kerja, yaitu faktor Hngkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti,
2001:75). Faktor lingkungan, management kantor maupun hubungan sosial di
lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal
bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun
kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.
Betapapun faktor kedua tidak secara langsung
berhubungan dengan kondisi
pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan
cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan sebagai sumber atau penyebab
munculnya stres. Secara umum dikelompokkan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
A. Tidak
adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cendcrung muncul pada para karyawan
yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di
sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga.
Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah
mercka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari
keluarga, seperti orang
tua, mertua, anak,
teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang
tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan)
akan cenderung lebih mudah terkena sires. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya
dukungan social yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan
tugasnya.
B. Tidak adanya
kesempatan bcrpartisipasi dalam
pembuatan keputusan di kantor.
Hal ini berkaitan
dengan hak dan
kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya.
Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan
persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewcnangannya. Stres kerja juga bisa
terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang
menyangkut dirinya.
C. Pelecehan
seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan
berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai
dart yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak
kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman
yang tidak pada
konteksnya. Dari banyak
kasus pelecehan seksual yang
sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau pengamayaan fisik
dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya
karena wanita.. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang
tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis
kclamin cukup tinggi,
namun tidak ada
undang-undang yang melindungmya (Baron and Greenberg dalam
Margiati, 1999:72).
D. Kondisi
lingkungan kerja. Kondisi
lingkungan kerja fisik ini bisa berupa
suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang
terlalu panas menyebabkan
ketidaknyamanan seseorang
dalam menjalankan pekerjaannya,
begitu juga ruangan
yang terlalu dingin. Panas tidak
hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara.
Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres
kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain
(Muchinsky dalam Margiati, 1999:73).
E. Manajemen yang
tidak sehat. Banyak
orang yang stres
dalam pekerjaan ketika gaya
kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang
sangat sensitif, tidak
percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir
suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat
kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan
peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak
leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres
(Minner dalam Margiati, 1999:73).
F. Tipe kepribadian. Seseorang
dengan kcpribadian tipe
A cenderung mengalami sires
dibanding kepribadian tipe B. Bcbcrapa ciri kepribadian tipe A ini adalah
sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran,
konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak
puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang
lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu,
bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema kctika mengambil pegawai
dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus
dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai
yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999:73).
G. Peristiwa/pengalaman pribadi.
Stres kerja sering
disebabkan pengalaman pribadi
yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal
sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi
masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus
menunjukkan bahwa tingkat stres
paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara
yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu,
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman,
juga termasuk kategori ini (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999:73).
Berikut ini beberapa sumber stres kerja menurut Cary Cooper
(dalam Rice, 1992) yaitu :
·
Kondisi Kerja
Kondisi
kerja ini meliputi kondisi kerja quantitative work overload, qualitative work
overload, assembli line-
hysteria , pengambilan keputusan, kondisi fisik yang
berbahaya, pembagian waktu kerja, dan kemajuan teknologi (technostres).
Pengertian dari masing-masing
kondisi kerja tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Quantitative
work overload
Work overload (beban kerja yang berlebihan) biasanya terbagi
dua, yaitu quantitative dan qualitative
overload. Quantitative overload adalah
ketika kerja fisik pegawai melebihi kemampuan nya. Hal ini disebabkan karena
pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak
dalam waktu yang
singkat. Qualitative overload terjadi ketika pekrejaan yang harus
dilakukan oleh pegawai terlalu sulit dan kompleks.
2. Assembli
line- hysteria
Beban kerja yang kurang dapat terjadi karena pekerjaan yang
harus dilakukan tidak menantang atau pegawai tidak lagi tertarik dan perhatian
terhadap pekerjaannya.
3. Pengambilan
keputusan dan tanggungjawab
Pengambilan keputusan yang akan berdampak pada perusahaan
dan pegawai sering membuat seorang manajer menjadi tertekan. Terlebih lagi
apabila pengambilan putusan itu juga menuntut tanggungjawabnya, kemungkinan
peningkatan stres juga
dapat terjadi.
4. Kondisi
fisik yang berbahaya
Pekerjaan seperti SAR, Polisi, penjinak bom sering
berhadapan dengan stres. Mereka harus siap menghadapi bahaya fisik sewaktu-
waktu.
5. Pembagian waktu
kerja
Pembagian waktu kerja kadang-kadang mengganggu ritme hidup
pegawai sehari-hari, misalnya pegawai yang memperoleh jatah jam kerja
berganti-ganti. Hal seperti ini tidak selalu berlaku sama bagi setiap
orang yang ada yang mudah menyesuaikan diri, tetapi ada yang
sulit sehingga menimbulkan persoalan.
6. Stres karena
kemajuan teknologi (technostres). Technostres adalah kondisi yang terjadi
akibat ketidakmampuan individu atau organisasi menghadapi teknologi baru.
·
Ambiguitas Dalam
Berperan
Pegawai kadang tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan
oleh perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah yang jelas. Kondisi ini akan
menjadi ancaman bagi pegawai yang berada pada masa karier tengah baya, karena
harus berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya dapat menurunkan kinerja,
meningkatkan ketegangan dan keinginan keluar dari pekerjaan
·
Faktor Interpersonal
Hubungan interpersonal dalam pekerjaan merupakan faktor
penting untuk mencapai kepuasan kerja. Adanya
dukungan sosial dari teman sekerja, pihak manajemen maupun keluarga diyakini
dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu kepedulian dari pihak
manjemen pada pegawai agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.
·
Perkembangan Karier
Pegawai biasnya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan
karier kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak memenuhi
kebutuhan tersebut, misalnya : sistem promosi yang tidak jelas, pegawai akan
merasa kehilangan harapan yang dapat menimbulkan gejala perilaku stres.
·
Struktur Organisasi
Struktur organisai berpotensi menimbulkan stres apabila
diberlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang memperdulikan inisiatif
pegawai, tidak melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan dan tidak
adanya dukungan bagi kreatifitas pegawai.
·
Hubungan antara
pekerjaan dan rumah
Rumah adalah sebuah tempat yang nyaman yang memungkinkan
membangun dan mengumpulkan semangat dari dalam diri individu untuk memenuhi
kebutuhan luar. Ketika tekanan menyerang ketenangan seseorang, ini dapat
memperkuat efek stres kerja. Denise Prosseau (dalam Rice, 1992). Spillover
mengatakan kekurangan dukungan dari pasangan, konflik dalam rumah tangga
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi stres dan karir.
Sedangkan Davis dan Newstrom (dalam Margiati, 1999:73) stres
kerja disebabkan:
a. Adanya
tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres,
akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan
baik fisik maupun
keahlian dan waktu
yang tersedia bagi karyawan.
b. Supervisor
yang kurang pandai. Scorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya
biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor.
Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan
membimbing dan memberi
pengarahan atau instruksi
secara baik dan benar.
c. Terbatasnya waktu
dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan
normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya.
Kemampuan bcrkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan
seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya, karyawan
dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan
atasan.
d. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan
kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada
bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus
mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
e. Ambiguitas
peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan
dari pekerjaan, apa
yang diharapkan untuk
dikerjakan serta scope dan
tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi
kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
f. Perbedaan
nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau
manajer yang mempunyai prinsip yang
berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang
dijunjung tinggi (altruisme).
g. Frustrasi. Dalam
lingkungan kerja, perasaan
frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor.
Faktor yang diduga
berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi,
ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan
gaji yang diterima.
h. Perubahan
tipe pekerjaan, khususnya jika hal terscbul tidak umum. Situasi ini bisatimbul
akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui
atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan
status jabatan serta
status perusahaannya berada
di bawah perusahaan pertama.
i.
Konflik peran.
Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender,
dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak
konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini
kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua
struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang
tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi
dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar