PENDAHULUAN
Mereka yang sedang menunggu suatu berita yang penting, atau mereka yang hidup dalam situasi yang sulit untuk diperkirakan, seringkali merasakan suatu kecemasan, suatu kondisi umum saat kita sedang berusaha mengantisipasi sesuatu, atau ketegangan psikologis. Orang-orang yang berada pada suatu situasi berbahaya atau situasi yang tak dikenal, seperrti terjuan paying untuk pertama kaliya atau mendapati dirinya berhadapan dengan seekor ular kobra, cenderung merasakan ketakuatn. Apabila berlangsung dalam situasi jagka pendek, emosi-emosi tersebut akan bersifat adaptif, karena emosi tersebut memberikan kita tenaga untuk dapat menghadapi situasi bahaya tersebut. Emosi-emosi tersebut akan memastikan kita tidak akan melakukan terjunpayung tanpa memiliki pengetahuan mengenai bagaimana menggunakan parasut, dan akan memastikan kita untuk menjauh pada kobra tersebut.
Namun, banyak situasi-situasi tertentu, rasa takut akan menjadi tidak berhubung dari bahaya yang sesungguhnya, atau sebaliknya, rasa takut tersebut akan tetap ada pada meskipun situasi bahaya atau situasi ketidakpastian tersebut telah berlalu. Hal tersebut dapat menyebabkan kecemasan kronik, yang ditandai dengan menentapnya perasaan ketegangan untuk mengantisipasi sesuatu yang buruk atau musibah; menyebabkan serangan panik, perasaan cemas yang berlebihan, yang berlangsung sesaat; menyebabkan fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap situasi atau hal tertentu; menyebabkan ganggaun obsesif-kompulsif.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai gangguan kecemasan beserta jenis-jenisnya, selain itu juga akan dijelaskan mengenai kriteria dan penyebab masing-masimng ganggaun kecmasan dan juga jeis-jenis terapi yang dapat dilakukan.
GANGGUAN ANXIETAS
Bagaimana bila engkau menjadi seorang yang lemah, seperti bocah laki-laki berumur sembilan tahun yang sedikit pemalu dan tidak agresif, agak pendek dan kurus dibanding rata-rata, dan selama tiga hari dalam seminggu, setiap Senin, Rabu, dan Jumat, secara rutin dan tidak dapat dihindari seperti matahari yang terbenam dan langit yang menjadi gelap dan bumi yang berubah menjadi hitam dan mati dan menakutkan tanpa menjanjikan kehangatan bahwa seseorang di suatu tempat di mana pun akan terjaga kembali, harus berada dalam pengasuhan yang menyedihkan dan keras dari seorang laki-laki bernama Fergione, yang lebih tua, lebih gemuk, dan jauh lebih besar darimu, seorang laki-laki yang mengerikan, penuh kekuatan, berbahu lebar yang berbulu, berotot kuat, berdada bidang, dan memakai kaus ketat berwarna putih bersih atau biru laut yang engkau tidak pernah mempunyai cukup keberanian untuk menatapnya dan yang nama pembantunya tidak engkau tanyakan atau tidak mampu kau ingat, dan yang tampaknya tidak menyukai atau sepakat denganmu? Ia dapat melakukan apa pun yang dikehendakinya padamu. Ia dapat melakukan apa un yang dikehendakinya padaku (Heller, 1966, hlm 236).
Kutipan dari novel kedua Joseph Heller, Semething Happened, menggambarkan ketidakberdayaan seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun yang ketakutan yang harus berinteraksi selama tiga hari dalam seminggu dengan guru olahraga yang berbadan kekar. Seperti digambarkan oleh anaknya yang sama ketakutannya, anak tersebut memiliki kecemasan yang berlebihan terhadap pelajaran olahraga, sebuah situasi yang dipaksakan untuk dimasukinya dan ia tidak dapat lari darinya, sebuah situasi yang memberikan tuntutan yang ia rasa tidak mampu dipenuhinya. Sekali lagi sang novelis berbakat tersebut merekan fenomenologi – pengalaman langsung – emosi penting manusia yang disampaikan secara jelas kepada kita semua.
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Konsep kecemasan memegang peranan yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stres dan penyesuaian diri (Lazarus, 1961). Menurut Post (1978), kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat. Freud (dalam Arndt, 1974) menggambarkan dan mendefinisikan kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Menurut Freud, kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya.
Lefrancois (1980) juga menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan ketakutan. Hanya saja, menurut Lefrancois, pada kecemasan bahaya bersifat kabur, misalnya ada ancaman, adanya hambatan terhadap keinginan pribadi, adanya perasaan-perasaan tertekan yang muncul dalam kesadaran. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Lefrancois adalah pendapat Johnston yang dikemukakan oleh (1971) yang menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya permusuhan dengan orang lain. Kartono (1981) juga mengungkapkan bahwa neurosa kecemasan ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan yang kronis, sungguhpun tidak ada rangsangan yang spesifik. Menurut Wignyosoebroto (1981), ada perbedaan mendasar antara kecemasan dan ketakutan. Pada ketakutan, apa yang menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan pada kecemasan sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk dengan tegas, jelas dan tepat.
Selanjutnya, Jersild (1963) menyatakan bahwa ada dua tingkatan kecemasan. Pertama, kecemasan normal, yaitu pada saat individu masih menyadari konflik-konflik dalam diri yang menyebabkan cemas. Kedua, kecemasan neurotik, ketika individu tidak menyadari adanya konflik dan tidak mengetahui penyebab cemas, kecemasan kemudian dapat menjadi bentuk pertahanan diri.
Menurut Bucklew (1980), para ahli membagi bentuk kecemasan itu dalam dua tingkat, yaitu:
1. Tingkat psikologis. Kecemasan yang berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan sebagainya.
2. Tingkat fisiologis. Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya.
Mungkin tidak ada satu topik lain dalam psikologi abnormal yang menyeluruh begitu banyak orang seperti kecemasan, suatu perasaan takut dan khawatir yang tidak menyenangkan. Kondisi emosional ini dapat terjadi dalam banyak psikopatologi dan merupakan aspek utama dalam berbagai gangguan. Kecemasan juga memiliki peran penting dalam studi psikologi orang-orang normal karena sangat sedikit di antara kita yang menjalani kehidupan, walaupun hanya seminggu tanpa mengalami semacam emosi yang kita sepakati bersama sebagai kecemasan atau ketakutan. Namun, periode kecemasan singkat yang menyerang individu normal hampir tidak dapat dibandingkan dengan intensitas atau durasi, juga tidak sama melemahkannya, dengan kecemasan yang diderita oleh seseorang yang mengalami gangguan anxietas.
Berbagai gangguan yang dibahas dalam bab ini dan bab berikutnya selama periode yang lalu dianggap sebagai bentuk-bentuk neurosis, sekelompok besar gangguan yang ditandai dengan kecemasan tidak realistis dan berbagai masalah lain yang terkait. Gangguan tersebut dikonseptualkan melalui kerja klinis Freud dengan para pasiennya, sehingga kategori diagnostik neurosis tidak terpisahkan dari teori psikoanalisis. Dalam DSM-II perilaku tersebut mencakup berbagai tipe neurosis yang berbeda dan sangat bervariasi-ketakutan dan penghindaran dalam fobia, dorongan yang tidak dapat ditolak untuk melakukannya tindakan tertentu secara berulang-ulang yang terdapat dalam gangguan obsesif kompulsif, kelumpuhan, dan simptom-simptom “neurologis” lain dalam gangguan konversi. Bagaimana bisa masalah yang sangat beragam tersebut dikelompokkan dalam satu kategori? Walaupun simptom-simptom yang di amati berbeda, semua kondisi neurotik diasumsikan, menurut teori psikoanalisis mengenai neurosis, mencerminkan masalah yang terpendam berkaitan dengan impuls-impuls id yang ditekan.
Selama bertahun-tahun banyak psikopatolog mempertanyakan kelayakan konsep neurosis karena konsep tersebut telah menjadi sangat luas sehingga tidak lagi bermakna sebagai kategori diagnostik. Terlebih lagi, tidak ada data yang mendukung asumsi bahwa pasien yang dicap neurotik memiliki beberapa masalah atau serangkaian simptom yang sama 1. Dimulai dalam DSM-III dan berlanjut dalam DSM-IV-TR, kategori lama neurosis didistribusikan dalam beberapa kelompok diagnosis baru yang lebih terpisah : gangguan anxietas.
Gangguan kecemasan adalah gangguan yang menyebabkan anak-anak dan orang dewasa merasa takut, sedih dan gelisah tanpa alasan yang jelas. Meskipun sebagian besar pengalaman ketakutan remaja dan kekhawatiran yang dapat dicap sebagai kecemasan, dimana yang hadir dalam gangguan kecemasan sebenarnya menghambat kegiatan sehari-hari (Christophersen & Mortweet, 2001).
Masalah berkaitan dengan kecemasan yang relatif umum di masa muda, dengan tingkat prevalensi klinis seumur hidup masalah mulai dari 6 sampai 15% (Silverman & Ginsburg, 1998; US Public Health Service, 2000). Para prevalensi gangguan kecemasan di masa muda lebih tinggi dibandingkan hampir semua gangguan mental lainnya (US Department of Health and Human Service, 1999). Pemuda dengan pengalaman masalah kecemasan yang signifikan dan sering berlangsung gangguan, seperti masalah sosial, konflik keluarga, dan kinerja yang buruk di sekolah dan bekerja (Langley, Bergman, McCracken & Paiacentini, 2004).
Gangguan Anxietas didiagnosis jika secara jelas terdapat perasaan cemas yang dialami secara subjektif. DSM-IV-TR mengajuan enam kategori utama : fobia, gangguan panik, gangguan anxietas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stres pasca trauma, dan gangguan stres akut. Terkadang seseorang yang menderita satu gangguan anxietas juga memenuhi kriteria diagnostik gangguan lain, sebuah situasi yang disebut komorbiditas. Komordibitas dalam gangguan anxietas terjadi karena dua hal.
1 Dalam banyak hal istilah neurosis berperan sebagai lawan dari istilah yang sangat luas lainnya, psikosis, yang juga merupakan bagian dari kosa kata sehari-hari dan terkenal dalam DSM-II. Beberapa diagnosis dalam DSM-IV-TR – Skizofrenia dan gangguan paranoid dan beberapa ganguan mood – dikenal sebagai psikosis walaupun gangguan tersebut secara umum tidak dikelompokkan sebagai gangguan semacam itu. Para individu yang menderita psikosis umumnya mengalami gangguan mental ekstrem dan kehilangan kontak dengan realitas. Halusinasi dan delusi yang mereka alami – persepsi yang salah dan keyakinan yang tidak benar yang merupakan gabungan distorsi dan ketidakmungkinan, namun diterima dengan teguh oleh individu – sangat mengungkung mereka sehingga mereka sering kali tidak mampu memenuhi tuntutan hidup yang paling wajar sekalipun.
1. Simptom berbagai gangguan anxietas tidak seluruhnya spesifik bagi gangguan tertentu; sebagai contoh, gejala-gejala somatik kecemasan (a.l., keringat, denyut jantung yang cepat) merupakan beberapa kriteria diagnostik bagi gangguan panik, fobia, dan gangguan stres pascatrauma.
2. Faktor-faktor etiologis yang memicu timbulnya berbagai gangguan anxietas mungkin dapat diterapkan bagi lebih dari satu gangguan; sebagai contoh, keyakinan bahwa anda tidak dapat mengontrol berbagai stresor yang Anda temui dianggap relevan bagi fobia dan gangguan anxietas menyeluruh. Dan penyiksaan fisik atau seksual di masa kanak-kanak dapat meningkat risiko seseorang untuk mengalami beberapa gangguan. Komordibitas dapat mencerminkan bekerjanya mekanisme yang sama seperti diatas.
Hingga saat ini, beberapa teori mengenai gangguan anxietas cenderung berfokus secara eksklusif pada satu gangguan. Perkembangan teori yang mempertimbangkan komordibitas merupakan tantangan masa depanKini beralih ke pengujian karakteristik yang menentukan, teori etiologi, dan terapi bagi setiap gangguan anxietas. Tabel 6.1 memberikan rangkuman singkat tentang gangguan yang akan kita bahas.
1. FOBIA
Para psikopatolog mendefinisikan fobia sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantarai oleh rasa takut yang tidak proporsional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu dan diakui oleh si penderita sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Fobia merupakan ketakutan yang diebih-lebihkan dan tidak realistis terhadap sejumlah situasi, aktivitas atau objek tertentu. Beberapa contoh adalah ketakutan ekstrem terhadap ketinggian, tempat tertutup, ular, atau laba-laba – mengingat tidak ada bahaya objektif – disertai dengan penderitaan cukup besar untuk mengganggu kehidupan seseorang.
Banyak ketakutan tertentu yang tidak menyebabkan derita yang cukup untuk memaksa individu mencari bantuan penanganan. Sebagai contoh, jika seseorang yang memiliki ketakutan yang sangat besar pada ular tinggal di daerah metropolitan, kecil kemungkinannya ia mengalami kontak langsung dengan objek yang ditakuti sehingga dapat tidak percaya bahwa ada yang salah dengan dirinya. Istilah fobia biasanya berarti bahwa seseorang mengalami distress yang parah dan hendaya sosial atau pekerjaan karena kecemasan tersebut.
Selama bertahun-tahun berbagai istilah kompleks telah diformulasikan untuk menyebut berbagai pola penghindaran yang sebenarnya tidak perlu ini. Dalam tiap kasus, kata fobia diawali dengan kata dalam bahasa Yunani yang menyebutkan objek atau situasi yang ditakuti. Kata Fobia diambil dari nama dewa Yunani Phobos, yang takut kepada musuh-musuhnya. Beberapa istilah antara lain : Claustrophobia, ketakutan pada ruang tertutup; Agoraphobia, ketakutan pada tempat umum; Acrophobia, ketakutan pada ketinggian; Ergasiophobia, ketakutan menulis; Pnigophobia, ketakutan tersedak; Taphephobia, ketakutan dikubur hidup-hidup; Anglophobia, ketakutan pada ingris; Musophobia, ketakutan pada tikus; Hellenologophobia, ketakutan pada kondisi ilmiah semu (McNally, 1997). Beberapa istilah otoratif semacam itu teramat sering mengesankan bahwa kita memahami bagaimana awal mula terjadinya suatu masalah tertentu atau bahkan bagaimana menanganinya hanya karena kita memberikan nama yang terkesan otoritatif. Hal itu sangat jauh dari kebenaran. Sebagaimana dengan begitu banyak teori dalam bidang psikologi abnormal, terdapat lebih banyak teori dan istilah mengenai fobia dibanding temuan-temuan yang pasti.
Para psikolog cenderung memfokuskan pada berbagai aspek fobia yang berbeda tergantung pada paradigma yang mereka anut. Para psikoanalisis berfokus pada isi fobia. Mereka melihat signifikasi yang besar dalam objek yang ditakuti sebagai suatu simbol ketakutan bawah sadar yang penting. Dalam sebuah kasus terkenal yang dilaporkan oleh Freud, seseorang anak laki-laki yang disebutnya Little Hans memeiliki ketakutan bertemu dengan kuda bila ia pergi keluar rumah. Freud memberikan perhatian khusus pada kata-kata Hans mengenai “sesuatu yang berwarna hitam di sekeliling mulut kuda dan sesuatu di depan matanya”. Kuda dianggap mewakili ayahnya, yang berkumis dan berkacamata. Freud berteori bahwa ketakutan pada ayah telah dialihkan pada ketakutan terhadap kuda yang kemudian dihindari Hans. Berbagai contoh lain semacam itu yang tak terhitung jumlahnya mungkin dapat diberikan. Poin utamanya adalah para psikoanalisis percaya bahwa isi fobia memiliki nilai simbolik penting. Di sisi lain para behavioris cenderung mengabaikan isi fobia dibanding memfokuskan pada fungsinya. Bagi mereka, ketakutan pada ular dan ketinggian memiliki kesamaan dalam kaitan bagaimana terjadinya, bagaimana ketakutan tersebut dapat dikurangi, dan sebagainya.
Kriteria DSM-IV untuk Fobia :
· Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi.
· Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens
· Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak beralasan
· Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens
Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber kekuatannya. Fobia tersebut biasanya saling menyertai (komorbid) (Kendler dkk., 2001). Angka prevalensi sepanjang hidup berkisar 7 persen pada laki-laki dan 16 persen pada perempuan (Kessler dkk., 1994).
1. Tipe fobia terhadap binatang (contoh: Fobia tikus, anjing atau binatang yang berbulu lebat)
2. Tipe lingkungan alam (contoh : Ketinggian, kilat atau air)
3. Tipe Fobia terhadap darah, suntikan atau luka
4. Tipe situasional (contoh : pesawat terbang, ruang tertutup, lift atau tempat umum)
5. Tipe lainnya (contoh : Ketakutan terhadap kostum karakter tertentu pada anak-anak)
Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di China, Pa-Leng adalah ketakutan pada dingin di mana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan ini tampaknya berkaitan dengan filosofi China tentang yin dan yang, yin merujuk pada aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan berangin.
Contoh lain adalah suatu sindrom yang dialami di Jepang yang disebut taijin-kyofu-sho, ketakutan pada orang lain. Ini bukanlah fobia sosial; namun merupakan ketakutan ekstrem untuk mempermalukan orang lain, contoh, dengan mempermalukan kehadiran mereka, menatap daerah genital, atau menunjukkan wajah aneh. Diyakini bahwa fobia ini timbul dari berbagai elemen budaya Jepang tradisional, yang mendorong kepedulian yang ekstrem terhadap perasaan orang lain, namun tidak mendorong komunikasi perasaan secara langsung (McNally, 1997). Dengan demikian kepercayaan yang terdapat dalam suatu budaya tampaknya dapat menjadi sumber ketakutan yang dialami oleh banyak orang.
Fobia Sosial
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh lebih tinggi dibanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas lain (Schneier dkk,19920. Memang, istilah “gangguan axietas sosial” baru-baru ini diajukan sebagai istilah yang lebih tepat karena beratnya masalah dan konsekuensi negatif bagi orang-orang yang mengalaminya jauh lebih besar dibanding fobia lain (Liebowitz dkk., 2000)
Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari situasi di mana ia mungin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berprilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuati di depan publik, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrem, bahkan dengan serangan panik besar besaran. Orang-orang yang menderita fobia sosial sering kali bekerja dalam pekerjaan atau profesi yang jauh di bawah kemampuan atau kecemasan mereka karena sensitifitas sosial ekstrem yang mereka alami – jauh melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu – sangat merugikan secara emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah daripada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih berharga.
Fobia sosial dapat bersifat umum atau khusus, tergantung tentang situasi yang ditakuti dan dihindari. Orang-orang dengan tipe umum mengalami fobia ini pada usia yang lebih awal, lebih banyak komorbiditas dengan berbagai gangguan lain, seperti depresi dan kecanduan alkohol, dan hendaya yang lebih parah (Mannuza dkk., 1995; wittchen, Stein, & Kessler, 1999). Gangguan anxietas sosial cenderung menjadi kronis jika penanganannya tidak berhasil.
Fobia sosial cukup jamak terjadi, dengan angka pravalensisepanjang hidup 11 persen pada laki-laki dan 15 persen pada perempuan (Kessler dkk., 1994; Magee dkk., 1996). Fobia ini memiliki tingkat komorbiditas tinggi dengan berbagai gangguan lain dan sering kali terjadi bersamaan dengan gangguan menghindar gangguan mood, dan penyalahgunaan alkohol (Crum & Pratt, 2011; Jansen dkk., 1994; Kessler dkk., 1999; Lecrubier & Weiller, 1997). Seperti diharapkan, awal terjadinya biasanya pada masa remaja, saat kesadaran sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting dalam kehidupan seseorang, namun seperti akan kita bahas nanti (hlm. 199), ketakutan semacam itu juga ditemukan pada anak-anak. Seperti halnya fobia spesifik, fobia sosial cukup bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, seperti telah dicatat sebelumnya, di Jepang ketakutan menyakiti orang lain merupakan hal yang sangat penting, sedangkan di Amerika Serikat ketakutan dinilai secara negatif oleh orang lain lebih jamak.
ETIOLOGI FOBIA
Sebagaimana terjadi pada hampir semua gangguan yang dibahas dalam buku ini, berbagai kemungkinan penyebab fobia juga dikemukakan oleh para pendukung paradigma psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis. Kita alan membahas berbagai pemikiran dari masing-masing paradigma tersebut.
Teori Psikoanalisis.
Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perkembangan perilaku fobik. Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dari dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Berbagai objek atau situasi ini – sebagai contoh, lift atau tempat tertutup – kemudian menjadi stimuli fobik. Dengan menghindarinya seseorang dapat menghindar dari konflik-konflik yang ditekan. Sebagaimana dibahas pada Bab 2, fobia adalah cara ego untuk menghindari konfrontasi dengan masalah sebenarnya, yaitu konflik masa kecil yang ditekan. Sebagai contoh , Freud menduga bahwa Little Hans, yang disebutkan sebelumnya, tidak berhasil mengatasi konflik Oedipal sehingga ketakutannya yang intens pada ayahnya dialihkan ke kuda dan ia menjadi fobik untuk keluar rumah.
Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh Arieti (1979), sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal tertentu di masa kecil dan bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa pada masa kanak-kanan, orang-orang yang menderita fobia pada awalnya menjalani periode tanpa dosa di mana mereka mempercayai orang lain di sekita mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian mereka menjadi takut bahwa orang dewasa, terutama orang tua, tidak dapat diandalkan. Mereka tidak dapat hidup dengan ketiadaan rasa percaya tersebut, atau rasa takut kepada orang lain. Untuk dapat kembali mempercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa takut pada orang lain tersebut menjadi rasa takut pada objek atau situasi yang tidak menyenangkan. Fobia muncul ke permukaan ketika, pada masa dewass, seseorang mengalami beberapa bentuk stres. Sebagaimana sebagian besar teori berdasarkan psikoanalisis, bukti-bukti yang mendukung pandangan ini sebagian besar terbatas pada kesimpulan yang ditarik dari laporan-laporan kasus klinis.
Teori Behavioral : Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan.
Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tantang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan respons avoidance yang dipelajari. Dalam sejarah, demonstrasi Watson dan Rayner (1920) mengenai pengkondisian terhadap suatu rasa takut atau fobia yang terlihat jelas pada Little Albert dianggap sebagai model mengenai bagaimana fobia dapat terjadi. Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
1. Melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS)
2. Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau menhindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.
Sebuah isu penting terdapat dalam penerapam model avoidance conditioning pada fobia. Fakta bahwa ketakutan Little Albert terjadi melalui pengkondisian tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa semua ketakutan dan fobia terjadi melalui cara tersebut. Namun, bukti tersebut hanya menunjukkan kemungkinan bahwa beberapa macam ketakutan mungkin terjadi melalui cara tersebut. Terlebih lagi, berbagai upaya untuk meniru eksperimen Watson dan Rayner sebagian besar tidak berhasil (a.l., English, 1929). Sangat sedikit bukti eksperimental yang mendukung argumen bahwa manusia dapat dikondisikan secara klasik sehingga mengalami ketakutan yang menetap dalam waktu lama terhadap stimuli netral bahkan jika stimuli tersebut berulang kali diberikan bersama stimuli yang menakutkan, seperti sengatan listrik (a.l., Davison, 1968b; Dawson. Schell, & Banis, 1986).
Secara pasti, pertimbangan etis telah mencegah sebagian besar peneliti memberikan stimuli yang sangat menakutkan pada manusia, namun cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa ketakutan akan hilang dalam waktu yang cukup singkat bila CS beberapa kali diberikan tanpa penguatan berupa kejutan dalam tingkat sedang ( Bridger & Mandel, 1965; Wickens, Allen, & Hill, 1963). Masalahnya kemungkinan adalah respons ketakutan fisologis yang tidak dikondisikan tidak terjadi di dalam laboraturium, dan respon semacam itu penting untuk menciptakan rasa takut yang dikondisikan (Forsyth & Eifert, 1998).
Di luar laboraturium, bukti-bukti bagi teori avoidance conditioning juga beragam. Beberapa fobia klinis memiliki kecocokan yang cukup baik dengan model avoidance conditioning. Suatu fobia atau objek atau situasi spesifik kadangkala dilaporkan setelah terjadi pengalaman yang menyakitkan dengan objek tersebut. Beberapa orang menjadi sangat takut pada ketinggian setelah jatuh yang berakibat buruk; beberaoa orang lain menderita fobia mengemudi setelah mengalami serangan panik di dalam mobil (Munjack, 1984); dan orang-orang yang menderita fobia sosial kadangkali mengalami pengalaman sosial traumatis (Stenberger dkk., 1995). Walaupun demikian, data lain mengindikasikan bahwa banyak orang yang menderita fobia tidak dapat mengingat kejadian tarumatis apa pun berkaitan dengan objek atau situasi yang mereka takuti. Hal tersebut merupakan kebenaran terutama dalam fobia sosial (Kendler, Myers, & Prescott, 2002). Dapatkah masalah ini diatasi dengan model avoidance conditioning?
Mungkin ketiadaan suatu UCS bukan merupakan hal penting karena kunci atas ketakutan yang dikondisikan adalah UCR (Forsyth & Eifert, 1998). Yaitu, seseorang yang mengalami episode ketegangan fisologis yang mendalam (UCR), karena beberapa alasan yang tidak disadarinya, dapat secara salah menyimpulkan bahwa situasi yang tidak berbahaya telah menyebabkan ketegangan dan ketakutan tersebut sebingga dapat menimbulkan fobia. Namun, jika situasi yang dihadapi seseorang tidak bersifat traumatis, tidak terdapat UCS yang jelas. Sebuah kasus dari catatan kami mengambarkan kemungkinan ini.
Seorang laki – laki berusia 36 tahun menjalani terapi karena mengalami kecemasan parah akibat sejumlah stresor berat yang belum lama ini dialaminya. Pada tahap-tahap awal terapi ia harus keluar kota untuk keperluan bisnis. Dalam perjalanan di dalam pesawat ia mengalami satu episode ketegangan fisiologis yang mendalam. Saat itu ia tidak sedang memikirkan stresor yang dialaminya dan tidak dapat menjelaskan mengapa tingkat ketegangannya naik secara mendadak. Ia menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah perjalanannya dengan pesawat terbang. Walaupun sebelumnya ia beberapa kali terbang dan sedikit atau tanpa kecemasan, Ia tidak berani naik pesawat terbang dalam perjalanan pulang dan memilih menggunakan bis.
Kemungkinan solusi lain untuk memecahkan teka-teki fobia yang terjadi tanpa keterpaparan denga UCS yang menakutkan adalah melalui modeling.
Modeling. Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Dengan demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modeling bukan melalui pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti. Seperti disampaikan sebelumnya (halaman 62), berbagai macam perilaku, termasuk respons-respons emosional, dapat dpelajari dengan menyaksikan suatu model. Pembelajaran terhadap rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebagai vicarious learning.
Dalam suatu penelitian, Bandura dan Rosental (1966) mengarahkan para peserta untuk mengamati orang lain, yaitu seorang model (rekan eksperimenter), dalam situasi oversive conditioning. Sang model diikat pada serangkaian peralatan listrik yang tampak mengesankan. Ketika mendengar suara dengungan, sang model dengan cepat menarik tangannya dari tangan kursi dan berpura-pura kesakitan. Respons fisiologis para peserta yang menyaksikan perilaku tersebut direkam. Setelah para peserta menyaksikan sang model “menderita” selama beberapa kali, mereka menunjukkan peningkatan frekuensi respons emosional ketika suara dengung terdengar. Para peserta mulai bereaksi secara emosional terhadap stimulus yang tidak berbahaya walaupun mereka tidak melakukan kontak langsung dengan kejadian yang berbahaya.
Vicarious Learning juga dapat terjadi melalui intruksi verbal ; yaitu, reaksi fobik dapat dipelajari melalui deskripsi yang diberikanorang lain tentang apa yang mungkin terjadi selain melalui observasi terhadap ketakutan orang lain. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, orang tua dapat berulang kali memperingatkan anaknya agar tidak melakukan beberapa aktifitas yang membahayakan.
Pembelajaran yang Dipersiapkan (Prepared Learning). Isu lain yang tidak dibahas dalam model pembelajaran avoidance adalah bahwa orang-orang cenderung hanya takut pada objek atau situasi tertentu, seperti laba-laba, ular, dan ketinggian, namun tidak pada objek lain, seperti domba (Marks, 1969). Fakta bahwa stimulus tertentu yang netral, disebut stimuli yang dipersiapkan, lebih mungkin dibanding stimuli lain untuk menjadi stimuli yang dikondisikan secara klasik yang mungkin berperan terhadap kecenderungan ini. Sebagai contoh, tikus belajar menghubungkan rasa dengan kondisi mual bukan dengan sengatan bila keduanya diberikan bersamaan (Garela, McGowan, & Green, 1972). Beberapa ketakutan bisa saja sangat mencerminkan classical conditioning, namun hanya pada stimuli yang secara fisiologis memamng sensitif bagi suatu organisme (Seligman, 1971). Eksperimen pengkondisian yang menunjukkan extinction rasa takut secara cepat mungkin menggunakan berbagai CS yang tidak siap dihubungkan dengan UCS oleh organisme bersangkutan.
Dukungan parsial terhadap penalaran ini diperoleh dari berbagai studi yang menggunakan berbagai tipe stimuli sebagai CS (Ohman, Erixon, & Loftberg, 1975). Selama pengkondisian, sengatan listrik diberikan bersamaan dengan gambar rumah, wajah, dan ula, serta para peserta memberikan CR terhadap gambar-gambar tersebut. Selama extinction, Cr terhadap gambar rumah atau wajah segera terhapus, sementara terhadap ular tetap kuat.
Prepared learning juga relevan dengan memplajari melalui modelling, Cook dan Mineka (1989) meneliti empat kelompok kera resus, yang masing-masing melihat rekaman video yang menunjukkan ketakutan mendalam tampak seolah merespons stimuli yang berbeda : seekor ular mainan, bunga, atau kelinci mainan. Hanya kera-kera yang melihat rekaman ular atau buaya mainan yang menunjukkan ketakutan pada objek tersebut, sekali lagi menunjukkan bahwa tidak setiap stimulus dapat menjadi sumber ketakutan.
Diperlukan Diathesis. Pertanyaan terakhir untuk dibahas adalah mengapa beberpa orang yang memiliki pengalaman traumatis tidak mengalami ketakutan yang menetap. Sebagai contoh, 50 persen di antara orang-orang yang sangat ketakutan terhadap anjing menuturkan pengalaman traumatis yang pernah mereka alami dengan anjing, begitu juga dengan 50 persen di antara orang-orang yang tidak takut anjing (DiNardo dkk, 1988). Perbedaan di antara dua kelompok tersebut adalah kelompok fobik berfokus pada dan menjadi cemas terhadap kemungkinan munculnya kejadian traumatis yang sama pada masa mendatang. Dengan demikian, suatu diathesis kognitif – meyakini bahwa kejadian traumatis yang sama akan terjadi pada masa mendatang – mungkin merupakan hal penting dalam terbentuknya fobia. Kemungkinan diathesis psikologis lain adalah adanya riwayat yang menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan (Mineka & Zinbarg, 1996).
Secara singkat, data yang telah kita kaji menunjukkan bahwa beberapa fobia mungkin dipelajari melalui avoidance conditioning. Namun, avoidance conditioning tidak dapat dianggap sebagai teori yang sepenuhnya dapat diberikan. Sebagai contoh, seperti disebutkan sebelumnya, banyak orang yang menderita fobia menuturkan bahwa mereka tidak pernah terpapar langsung dengan kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan (Merckelbach dkk., 1989). Terlebih lagi, model avoidance conditioning memiliki kesulitan menangani komorbiditas di antara berbagai jenis fobia.
Keterampilan Sosial yang Kurang Dalam Fobia Sosial. Kita beralih pada pembahasan model behavioral mengenai fobia sosial yang menganggap bahwa perilaku yang tidak tepat atau kurangnya keterampilan sosial sebagai penyebab kecemasan sosial. Menurut pandangan tersebut, individu tidak pernah belajar bagaimana berperilaku agar ia merasa nyaman dengan orang lain, atau orang tersebut berulang kali melakukan kecerobohan, kikuk dan secara sosial tidak kompeten, serta sering dikritik oleh rekan-rekan sosial. Dukungan terhadap model ini berasal dari berbagai penemuan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam tingkat keterampilan sosial (Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka tidak mampu memberikan respons pada waktu serta tempat yang tepat dalam interaksi sosial, misalnya mengatakan “terima kasih” pada waktu yang tepat.(Fischetti, Curran, & Wessberg, 1977).
Perhatikan bagaimana perspektif rendahnya keterampilan sosial ini terkait dengan teori avoidance conditioning yang telah dikaji sebelumnya. Seseorang yang keterampilan sosialnya rendah memiliki kemungkinan menciptakan situasi yang menakutkan bersama orang lain. Sebagai contoh, tidak mengetahui bagaimana cara merespons dengan sopan, namun asertif terhadap permintaan orang lain dapat melukai perasaan orang lain, dan memicu situasi interpersonal yang tidak menyenangkan, bahkan konflik yang meneganggkan. Dapat diduga bahwa hukuman yang diterima dari orang lain akan membuat orang tersebut lebih merasa takut berinteraksi dengan mereka.
Teori Kognitif. Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana prose berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; Turk dkk., 2001). Isu utama dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di laboraturium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas.
Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalami kecemasan sosial telah meneliti faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami kecemasan sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibanding orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial (Goldfried, Padawer, & Robins, 1984), lebih memerhatikan citra yang mereka tunjukkan pada orang lain (Bates, 1990), dan cenderung melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial (Wallace & Alden, 1997). Studi yang dilakukan oleh Davison dan Zighelboim (1987) yang di bahas pada Bab 4 memberikan bukti-bukti lebih jauh terhadap berbagai kesimpulan diatas.Metode artikulasi pikiran dalam simulasi situasi digunakan untuk membandingkan pikiran dua kelompok peserta yang bermain peran dalam situasi netral dan dalam situasi dimana mereka di kritik secara tajam. Satu kelompok terdiri dari para sukarelawan peserta kuliah pengenalan psikologi; kelompok lain terdiri dari para mahasiswa prasarjana yang dirujuk oleh pusat konseling mahasiswa dan diidentifikasi oleh para terapis mereka sebagai orang-orang yang pemalu, menarik diri, dan memiliki kecemasan sosial. Pikiran yang diartikulasikan oleh para mahasiswa yang memiliki kecemasan sosial ketika mereka membayangkan diri mereka dikritik mencakup “Saya ditolak oleh orang-orang ini,” “Tidak ada tempat untuk bersembunya sekarang ini,” “Saya pikir saya orang yang membosankan ketika berbicara dengan orang lain,” “Saya sering berpikir bahwa saya seharusnya tidak berbicara sama sekali.”
Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini-rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tersebut (Amir. Foa, & Coles, 1998)
Dalam satu studi, yang secara parsial menguji teori tersebut, orang-orang yang memiliki ketakutan besar terhadao ular atau laba-laba dipertontonkan pada gambar-gambar yang bervarisasi yang beberapa diantaranya diharapkan akan memunculkan rasa takut (ular dan laba-laba), sedangkan yang lain tidak (bunga dan jamur). Setiap gambar diikuti 30 mili detik setelahnya dengan pola stimulus lain sehingga isi gambar tersebut tidak dapat dikenali secara sadar. Namun demikian, orang-orang yang sangat takut pada ular menunjukkan peningkatan konduktans ketika melihat gambar ular, dan yang sangat takut pada laba-laba yang menunjukkan peningkatan konduktans kulit ketika melihat gambar laba-laba, mengindikasikan bahwa ketakutan fobik dapat ditimbulkan oleh stimuli yang tidak disadari sehingga jelas irasional (Ohman dan Soares, 1994)
Faktor-Faktor Biologis yang Memengaruhi. Berbagai teori yang telah kita bahas terutama melihat pada lingkungan untuk menemukan penyebab dan yang membuat fobia menetap. Namun, mengapa beberapa orang memiliki ketakutan yang tidak realistic, sedangkan yang lain tidak, padahal mereka mendapat kesempatan pembelajaran yang sama? Mungkin mereka yang secara negative sangat terpengaruh oleh stress memiliki mal fungsi biologis (suatu diathesis) yang dengan cara satu atau lainnya memicu terjadinya fobia setelah kejadian yang penuh stres. Penelitian dalam dua area berikut tampaknya menjanjikan: system saraf otonom dan factor genetic.
System Saraf Otonom. Seperti disebutkan sebelumnya, orang-orang yang mengalami fobia sosial seringkali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan di depan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh system saraf otonom, aktivitas system saraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis. Namun demikian, ebagian besar bukti tidak menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita fobia sangat berbeda dalam pengendalian berbagai bentuk aktivitas otonomik, walaupu saat berada dalam situasi seperti berbicara di depan umum yang diharapkan akan terjadi perbedaan. Mungkin ketakutan terhasdap memerahnya wajah atau berkeringat sama pentingnya dengan wajah yang benar-benar memerah atau berkeringat. Sebagai contoh, suatu studi baru-baru ini mengukur memerahnya wajah dalam tiga tugas berbeda yang menyebabkan stress dalam tiga kelompok: mereka yang menderita fobia sosial menuturkan bahwa wajah mereka sering memerah; mereka yang menderita fobia sosial yang tidak menuturkan bahwa wajah mereka sering memerah; dan kelompok kontrol. Para peserta yang menderita fobia sosial menuturkan bahwa wajah mereka lebih sering memerah dalam tiga tugas tersebut, namun secara actual mereka lebih memerah disbanding kelompok kontrol hanya dalam satu dari ketiga tugas tersebut (melihat rekaman video tentang diri mereka sedang menyanyikan sebuah lagu anak-anak). Orang-orang yang menderita fobia sosial yang sebelumnya menuturkan memerahnya wajah secara actual tidak lebih memerah disbanding orang-orang yang menderita fobia sosial yang tidak menuturkan merahnya wajah (Gerlach dkk, 2001). Dengan demikian, bila aktivitas otonom yang berlebihan (tercermin dalam memerahnya wajah) memiliki relevansi dengan fobia sosial, rasa takut terhadap konsekuensi aktivitas otonom mungkin merupakan hal yang lebih penting.
Faktor Genetik. Beberapa studi telah menguji apakah factor genetic berperan dalam fobia. Fobia darah dan penyuntikan sangat familiar; 64 persen pasien fobia darah dan penyuntikan memilik sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita ganggua yang sama, sedangkan prevalensi gangguan dalam populasi umum hanya 3 sampai 4 persen (Ost, 1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun fobia spesifik, prevalensinya lebih tinggi disbanding rata-rata pada keluarga tingkat pertama pasien, dan studi terhadap orang kembar menunjukkan kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding kembar DZ (Hettema, M. Neale dan Kendler, 2001).
Terkait dengan penemuan ini adalah penelitian Jerome Kagan mengenai karakter terhambat atau pemalu (Kagan & Snidman,1997). Beberapa bayi berusia empat bulan menjadi terganggu dan menangis ketika ditunjuki mainan atau stimuli lain. Pola perilaku ini, yang mungkin diturunkan, dapat menjadi tahap awal bagi perkembangan fobia kelak. Dalam satu studi, sebagai contoh, anak-anak yang mengalami hambatan memiliki kemungkinan lima kali lebih besar dibanding anak-anak yang tidak terhambat untuk mengalami fobia kelak (Biederman dkk, 1990).
Data yang kami sajikan tidak secara gamblang mengaitkan faktor genetik. Walaupun keluarga dekat memiliki gen yang sama mereka juga memiliki kesempatan besar untuk saling mengamati dan mempengaruhi. Fakta bahwa ayah dan anak laki-lakinya memiliki ketakutan pada ketinggian dapat mengindikasikan komponen genetic, peniruan langsung si anak terhadap perilaku ayahnya, atau keduanya.Walaupun terdapat beberapa alas an untuk mempercayai bahwa faktor-faktor genetic mungkin berperan dalam etiologi fobia, namun hingga saat ini tidak ada bukti tegas yang menunjukkan sampai sejauh mana peran faktor genetik.
Terapi Fobia
Setelah mengkaji teori penyebab fobia, kami akan membahas berbagai terapi utama untuk menanganinya. Bagian terapi dalam bab 2 dimaksudkan sebagai pelengkap suatu konteks untuk memahami pembahasan mengenai terapi pada bab ini dan bab-bab selanjutnya. Evalusai mendalam terhadap terapi disajikan pada bab 17.
Sebagian besar orang mengalami penderitaan, terkadang tanpa diketahui orang lain, karena fobia yang mereka alami dantidak mencari pertolongan (Magee dkk, 1996).Pada kenyataannya, banyak orang yang didiagnosis mengidap fobia oleh seorang ahli klinis tidak merasa dirinya mempunyai masalah yang memerlukan perhatian khusus.Keputusan untuk menjalani terapi seringkali muncul ketika terjadi perubahan dalam kehidupan seseorang yang membuatnya terpapar dengan sesuatu yang telah dihindari atau diminimalkan selam bertahun-tahun.
Seorang insinyur teknik industry yang berusia 30 tahun berkonsultasi dengan kami untuk mengatasi ketakutannya naik pesawat terbang ketika ia mendapat promosi jabatan yang membuatnya sering melakukan perjalanan. Promosi jabatan tersebut merupakan hasil prestasi kerjanya selama beberapa tahun dalam pekerjaan di belakang meja di perusahaan terkait. Perjalanan dengan keluarga selalu dilakukan dengan mengendarai mobil atau naik kereta api, dan orang-orang dekatnya berkompromi dengan ketakutannya yang merusak untuk naik pesawat terbang. Bayangkan perasaannya yang bercampur baur ketika diberitahu bahwa ia mendapat promosi tersebut! Ambisi dan harga dirinya-dan doronga n dari keluarga dan teman-teman-mendorongnya untuk mencari bantuan.
Pendekatan Psikoanalisis. Seperti halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi, demikian juga terapi psikoanalisis.Walaupun demikian, secara umum, semua penanganan psikoanalisis terhadap fobia berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan karakteristik penghindaran dalam gangguan ini.Karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani.Memang, upaya langsung untuk mengurangi penghindaran fobik dikontraindikasikan karena fobia diasumsikan melindungi orang yang bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasi analisis menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan dalam tradisi psikoanalisis untuk membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas analisis mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Analisis juga berupaya menemukan berbagai petunjuk terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas.Apa yang diyakini analis mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung pada teori psikoanalisis tertentu yang dianutnya. Seorang analis ortodoks akan mencari konflik-konflik yang berkaitan dengan seks atau agresi, sedangkan analis yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan mendorong pasien untuk mempelajari generalisasi ketakutannnya terhadap orang lain.
Analis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih fokus untuk mendorong pasien menghadapi fobia.Walaupun demikian, mereka juga menganggap fobia sebagai akibat dari masalah yang terjadi pada masa lalu.Alexander dan French, dalam buku klasiknya psychoanalytic therapy (1946), menulis tentang “pengalamn emosional korektif” dalam terapi, yang mereka maksudkan sebagai situasi di mana pasien menghadapi sesuatu yang amat sangat ditakutinya.Mereka mengamati bahwa “Freud sendiri menyimpulkan bahwa dalam penanganan beberapa kasus, contohnya fobia, akan tiba waktunya analis harus mendorong pasien untuk melakukan berbagai aktivitas yang dihindarinya pada masa lalu”.Wachtel (1977) bahwa lebih tegas merekomendasikan para analis untuk menggunakan teknik-teknik reduksi rasa takut yang digunakan para terapis perilaku, seperti desensitisasi sistematik.(Pembahasan lebih rinci mengenai usulan Wachtel untuk menggabungkan psikoanalisis dan terapi perilaku terdapat pada Bab 17).
Para ahli klinis yang berorientasi analitis mengakui pentingnya pemaparan dengan sesuatu yang ditakuti, walaupun biasanya mereka cenderung menganggap perbaikan kondisi yang mengikutinya hanya bersifat simtomatik dan bukan sebagai penyelesaian atas konflik mendasar yang diasumsikan sebagai penyebab fobia (Wolitzky & Eagle, 1990).
Pendekatan Behavioral. Desensitisasi sistematik merupakan terapi behavioral utama yang pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia (Wolpe, 1958).Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksasi mendalam.Bukti-bukti klinis dan eksperimental mengindikasikan bahwa teknik ini efektif untuk menghapuskan, atau minimal mengurangi fobia (Barlow, Raffa, & Cohen, 2002).
Selain itu, banyak terapis perilaku yang telah menyadari pentingnya pemaparan dengan situasi fobik dalam kehidupan nyata, kadangkala selama periode dimana pasien didesensitisasi dalam imajinasi dan kadangkala sebagai pengganti prosedur berbasis pencitraan (Craske, Rapee, & Barlow, 1992).Sebagian besar peneliti klinis kontemporer menganggap bahwa pemaparan secara nyata lebih bernilai dibanding teknik yang menggunakan imajinasi, tidak mengherankan karena stimuli imajiner secara harfiah bukanlah hal yang sesungguhnya.
Pada saat yang sama penting untuk dicatat bahwa desensitisasi dalam imajinasi secara khusus sesuai bila tidak dimungkinkan atau tidak praktis untuk memaparkan orang yang sangat ketakutan secara langsung pada sesuatu yang mereka takuti. Sebagai contoh, jika seorang terapis ingin memberikan pemaparan secara bertingkat dengan figur otoritas dalam hidup pasien, misalnya dengan ayah pasien yang sudah meninggal, maka akan bermanfaat untuk dapat menggunakan pemaparan dengan pencitraan sebagai “pengganti” hal nyata dan untuk mengetahui bahwa, berdasarkan penelitian terkendali dalam prosedur original dari Wolpe, pemaparan terhadap situasi imajiner menghasilkan reduksi kecemasan yang signifikan.
Flooding adalah teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intesitas penuh.Rasa tidak nyaman ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga belum lama ini cenderung menahan terapis untuk menggunakan teknik ini, kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat tidak membuahkan hasil. Dalam pembahasan mengenai terapi untuk gangguan obsesif kompulsif dan gangguan stres pasca trauma, kita akan melihat penggunaan teknik flooding yang lebih luas.
Fobia darah dan penyuntikan hanya baru-baru ini saja, dalam DSM-IV-TR, dibedakan dari jenis ketakutan dan penghindaran berat lain karena reaksi yang berbeda dari para penderita fobia tersebut terhadap pendekatan behavioral yang biasa digunakan yaitu relaksasi bersamaan dengan pemaparan (Page, 1994). Relaksasi cenderung memperburuk situasi bagi penderita fobia darah dan penyuntikan.Mengapa?Pertimbangkan bahwa setelah ketakutan awal, yang disertai dengan naiknya denyut jantung dan tekanan darah secara dramatis, pasien yang menderita fobia darah dan penyuntikan sering kali mengalami penurunan tekanan darah dan denyut jantung secara mendadak dan biasanya menjadi lemas (McGrady & Bernal, 1986).Dengan mencoba untuk rileks, pasien cenderung menjadi lemas, rasa takut dan penghindaran mereka yang sudah sangat besar terhadap situasi tersebut secara keseluruhan meningkat, juga rasa malu mereka (Ost, 1992).Hasil penelitian dan observasi klinis adalah bahwa pasien yang menderita fobia darah dan penyuntikan sekarang ini didorong untuk mengencangkan otot mereka, bukannya mengendurkan ketika menghadapi situasi yang mereka takuti (Hellstrom, Fellenius, & Ost, 1996; Ost, Fellenius, & Sterner, 1991).
Mempelajari keterampilan sosial dapat membantu penderita fobia sosial yang tidak mengetahui apa yang harus diucapkan atau dilakukan dalam berbagai situasi sosial. Beberapa terapis behavioral mendorong pasien untuk berlatih peran atau melatih pertemuan interpersonal di dalam ruang konsultasi atau kelompok terapi kecil (Heimberg & Juster, 1994; Heimberg dkk., 1993; Marks, 995;Mattick& Andrews, 1994). Beberapa studi membuktikan efektivitas pendekatan semacam itu (a.l., Heimberg dkk, 1989; Turk, Hope, & Heimberg, 2001; Turner, Beidel, & Cooley-Quille, 1995).Seperti diungkapkan Herbert (1985), praktik-praktik demikian juga dapat memaparkan orang yang ketakutan, bahkan jika keterampilan sosialnya tidak rendah, pada berbagai kondisi yang memicu kecemasan, seperti yang diamati oleh orang lain, sehingga ketakutan dapat dihilangkan melalui pemaparan dalam kehidupan nyata (Hope, Heimberg, & Bruch, 1995).Ini merupakan salah satu contoh tentang bagaimana suatu teknik terapeutik tertentu dapat berhasil karena lebih dari satu hal.
Modeling merupakan teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Dalam terapi modeling, klien yang ketakutan melihat orang lain yang berinteraksi dengan objek melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut, contohnya, memegang ular yang tidak berbisa atau mengusap-usap anjing yang jinak. Menunjukkan pada orang-orang yang mengalami kecemasan sosial bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang lain secara lebih baik merupakan bagian tak terpisahkan dalam pelatihan keterampilan sosial yang disebutkan sebelumnya bagi pasien yang kecemasan sosialnya, sekurang-kurangnya sebagian, terjadi karena mereka tidak tahu bagaimana harus berperilaku dalam berbagai situasi sosial.
Para terapis perilaku yang lebih menyukai teknik-teknik operant mengabaikan rasa takut yang diasumsikan mendasari fobia, bukan memerhatikan penghindaran yang ditunjukkan terhadap berbagai objek fobik dan pada perilaku mendekat yang harus menggantikan perilaku tersebut. Mereka memperlakukan pendekatan terhadap situasi yang ditakuti seperti halnya operant lain dan membentuknya sesuai dengan prinsip successive approximations.Pemaparan secara nyata terhadap objek fobik dicapai secara bertingkat, dan klien diberi hadiah walaupun hanya mengalami keberhasilan minimal dalam bergerak lebih mendekati objek terkait.Perlu dicatat bahwa pemaparan merupakan aspek yang tak terhindarkan dalam setiap pembentukan operant dalam perilaku mendekat.
Banyak terapis perilaku memberikan perhatian pada rasa takut dan penghindaran dengan menggunakan teknik seperti desensitisasi untuk mengurangi rasa takut dan pembentukan operant untuk mendorong pendekatan (Lazarus, Davison, dan Polefka, 1965).Dalam tahap awal penanganan, ketika rasa takut dan penghindaran sangat besar, terapis berkonsentrasi mengurangi rasa takut melalui pelatihan relaksasi dan pemaparan bertingkat terhadap situasi fobik.Seiring dengan berjalannya terapi, penghindaran lebih menjadi isu dibanding rasa takut. Seseorang yang menderita fobia sering kali menempatkan dirinya pada posisi dimana orang lain mengakomodasi ketidakmampuannya sehingga malah memperkuat fobia yang diderita orang tersebut (para psikoanalis menyebut fenomena ini sebagai secondary gain). Sejalan dengan berkurangnya kecemasan si penderita, ia akan mampu mendekati sesuatu yang sebelumnya sangat menakutkan baginya. Perilaku terbuka ini dapat dikuatkan secara positif-dan penghindaran tidak didorong–oleh keluarga dan teman-teman serta oleh terapis.
Pendekatan Kognitif. Terapi kognitif bagi fobia spesifik dipandang dengan skeptis karena karakteristik utama penentu fobia: rasa takut fobik diakui oleh penderitanya sebagai rasa takut yang berlebihan atau tidak beralasan. Jika penderita mengakui bahwa ia mengalami ketakutan pada sesuatu yang tidak berbahaya, apa yang dapat dilakukan terapi tersebut untuk mengubah pikiran si penderita? Memang, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hanya dengan menghapuskan keyakinan irasional tanpa pemaparan dengan situasi yang ditakuti akan mengurangi penghindaran fobik (Turner dkk., 1992; Williams dan Rappoport, 1983).
Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode kognitif semacam itu-kadangkala dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial-lebih menjanjikan.Orang-orang yang menderita fobia sosial dapat memperoleh manfaat dari strategi penanganan yang mengacu pada Beck dan Ellis. Yaitu, mereka mungkin dipersuasi oleh terapis untuk menilai reaksi orang lain terhadap mereka secara lebih akurat (kernyitan wajah guru saya mungkin tidak berarti bahwa dia tidak setuju dengan saya, namun lebih menunjukkan sesuatu yang sedang dipikirkannya yang tidak berkaitan sama sekali dengan saya) dan untuk tidak terlalu bergantung pada persetujuan orang lain untuk mempertahankan perasaan bahwa diri kita bermakna (hanya karena saya dikritik bukan berarti saya adalah seorang tanpa entitas yang bermakna). Dengan pengakuan dalam tahun-tahun terakhir bahwa banyak orang yang menderita fobia sosial, pada dasarnya memiliki cukup keteramopilan sosial namun terhambat oleh pikiran-pikiran yang menghancurkan diri sendiri, pendekatan kognitif semakin dititikberatkan. Bila dikombinasikan dengan pemaparan dengan situasi yang ditakuti, terutama dalam konteks terapi kelompok, pendekatan kognitif terbukti lebih efektif dibanding berbagai terapi lain (Turk dkk., 2001).
Walaupun demikian, perbedaan yang secara statistik signifikan antara kelompok terapi yang menjalani, contohnya, terapi perilaku kognitif dan kelompok kontrol tidak berarti bahwa semua atau bahkan sebagian besar pasien yang diterapi akhirnya tidak mengalami kecemasan sosial sama sekali. Bertentangan dengan itu-dan generalisasi ini berlaku bagi semua terapi yang dinilai efektif-banyak pasien yang sama sekali tidak merespons atau hanya mengalami reduksi kecemasan secara parsial sebagai hasil dari terapi tersebut (DeRubeis dan Crits-Cristoph, 1998). Menilik hal itu, keuntungan terapi bersifat signifikan dan bermakna klinis bagi sebagian besar pasien yang menjalani terapi yang memaparkan mereka, dalam kondisi yang nyaman dan terkendali, dengan situasi interpersonal seraya mendorong mereka untuk mengubah cara berpikir negatif tentang penampilan mereka.
Semua terapi behavioral dan kognitif bagi fobia memiliki tema yang berulang, sebutlah, pasien perlu mulai menghadapi sesuatu yang diyakini terlalu menakutkan, terlalu mengerikan untuk dihadapi.Walaupun para psikoanalis percaya bahwa rasa takut berasal dari masa lalu yang terpendam sehingga menunda konfrontasi langsung, pada akhirnya mereka juga mendorong pasien untuk menghadapinya (a.l., Zane, 1984).Freud menyatakan, “Seseorang hampir tidak dapat mengatasi fobia jika ia menunggu sampai pasien membiarkan analisis memengaruhinya untuk menghadapinya.Seseorang berhasil hanya jika dapat membuat mereka mengatasinya sendiri dan berupaya berjuang untuk menghadapi kecemasan mereka (Freud, 1919, hlm. 400).Dengan demikian, semua terapi tersebut mencerminkan sebentuk kebijaksanaan yang tidak lekang oleh waktu, yaitu yang menyatakan bahwa kita harus menghadapi ketakutan kita.Sebagaimana diungkapkan dalam peribahasa Cina kuno, “Pergilah langsung ke jantung bahaya, karena disana anda akan menemukan rasa aman.”
Pendekatan Biologis. Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran lytic berasal dari bahasa Yunani yang berarti “melonggarkan atau melelehkan”).Barbiturate adalah kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk menangani gangguan anxietas, namun karena kategori obat-obatan tersebut menyebabkan ketergantungan yang tinggi dan beresiko mematikan bila overdosis (ef. Hlm. 374), pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan dua kelompok obat-obatan lain, propanediol (a.l., Miltown) dan benzodiazepine (a.l., Valium dan Xanax).Jenis yang kedua dewasa ini digunakan secara luas dan, sebagaimana akan kita lihat nanti, memberikan manfaat bagi beberapa gangguan anxietas. Namun demikian, jenis tersebut tidak banyak digunakan bagi fobia spesifik.Terlebih lagi, walaupun resiko mematikan dalam kondisi overdosis tidak sebesar barbiturate, benzodiazepine menyebabkan ketergantungan fisik dan sindrom putus zat diri yang parah (Schweizer dkk, 1990).
Dalam tahun-tahun terakhir, obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk menangani depresi (antidepresan) menjadi populer untuk menangani banyak gangguan anxietas, termasuk fobia.Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, penghambat monoamine oxidase (MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi untuk menangani fobia sosialdisbanding benzodiazepine (Gelernter dkk, 1991), dan dalam studi lain sama efektifnya dengan terapi perilaku kognitif dalam pengamatan setelah terapi selama 12 minggu (Heimberg dkk, 1998). Namun, penghambat MAO, seperti phenelzein (Nardil), dapat menyebabkan peningkatan berat badan, insomnia, disfungsi seksual, dan hipertensi.Penghambat pengembalian serotonin selektif yang baru-baru ini tersedia (SSRI), seperti fluoxetine (Prozac), pada awalnya juga dikembangkan untuk menangani depresi.Obat-obatan jenis ini juga menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk mengurangi fobia spesifik dan sosial dalam berbagai studi double blind (Benjamin dkk, 2000; Van Ameringen dkk, 2001).Walaupun demikian, masalah kunci dalam menangani fobia dan gangguan anxietas lain dengan menggunakan obat-obatan adalah pemberian obat-obatan mungkin sulit dihentikan, dan kekambuhan umum terjadi jika pasien berhenti menggunakannya (Herbert, 1995).
2. Gangguan Panik
Ganggaun panik adalah gangguan kecemasan dimana seseorang mengalami serangan panik yang berulang, periode rasa tajut yang hebat, dan perasaan akan mengalami musibah atau kematian, diikuti oleh gejala-gejala fisiologis seperti peningkatan detak jantung dan rasa pusing. Dalam gangguan panik seseorang mengalami serangan mendadak dan seringkali tidak dapat dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang tidak mengenakkan seperti kesulitan berbapas, jantung berdebar, mual, nyeri dada, merasa seperti tersedak, dan tercekik; pusing, berkeringat, dan gemetar, serta kecemasan yang sangat dalam, teror, dan merasa seolah akan mati. Depersonilisasi, perasaan seolah berada di luar tubuh, dan derelisasi, suatu perasaan bahwa duunia tidak nyata, juga ketakutan kehilangan kendali, menjadi gila atau bahkan ati dapat memenuhi dan menguasai pasien.
Kriteria DSM_IV-TR untuk Ganggaun Panik
· Serangan panik berulang tanpa terduga.
· Sekurang-kurangnya selama satu bulan terdapat kekhawatiran akan terjadinya serangan berikutnya atau kekhawatiran atas konsekuensi yang diterima ketika seranagn terjadi, atau perubahan perilaku karena serangan yang dialami.
Meskipun serangan panik sepertinya muncul begitu saja, namun sebenarnya serangan panik akan muncul sebagai akibat dari stres, emosi, yag berlangsung untuk waktu yang lama, kekhawatiran mengenai sesuatu secara spesifik, atau pengalaman yang menimblkan rasa takut (MC Nally, 1998). Sebagai contoh, salah seorang teman kami menjadi penumpang pesawat yang mendapatkan ancaman bom pada saat pesawat tersbut berada pada ketinggian 33.000 kaki, pada saat itu teman kami mampu menghadapai situasi tersebut dengan sangat baik, namun 2 minggu kemudia, secara tiba-tiba ia mengalami serangan panik.
Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau lebih sering lagi; biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang dalam hitungan jam; dan kadangkala berkaitan dengan situasi spesifik, seperti mengendarai mobil. Jika sangat terkait dengan pemicu situasional, disebut serangan panik berisyarat (cued panik attacks). Jika terdapat hubungan antara stimulus dengan serangan namun tidak sangat kuat, serangan ini disebut sebagai serangan yang dipicu secara situasional. Serangan panik juga dapat terjadi dalam kondisi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam situasi yang tidak terduga; dalam kasus-kasus ini disebut sebagai serangan tanpa isyarat (uncued attacks). Serangan tanpa isyarat yang berulang dan khawatir mengalami serangan pada masa mendatang merupakan prasyarat diagnosis gangguan panik, namun serangan panik sendiri cukup banyak terjadi (antara 3-5 % dalam populasi umum setiap tahunnya) pada orang-orang yang tidak memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992). Terjadinya serangan berisyarat saja kemungkinan besar menandakan adanya fobis.
Prevalensi sepanjang hidup ganguan panik sekitar 2% pada laki-laki dan lebih dari 5% pada perempuan (Kessler, dkk., 1994). Umumnya berawal pada masa remaja, dan kemunculannya terkait dengan pengalaman hidup yang penuh stress (Pollard, Pollard, dan Cori, 1989). Prevalensi gangguan panik bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di Afrika didiagnosis pada sekitar 1% laki-laki dan 6% perempuan (hollifield, dkk., 1990), namun demikian di Taiwan prevalensi gangguan panik cukup rendah, mungkin disebabkan stigma bila menuturkan masalah mental (Weissman, dkk., 1997). Gangguan yang memiliki keterkaitan dengan gangguan panik juga terjadi dalam berbagai budaya lain. Di kalangan Eskimo di Greenland barat contohnya, kayak-angst terjadi pada para pemburu anjing laut yang berada sendirian di tengah lautan. Serangan mencakup rasa takut yang sangan besar, disorietasi, dan kekhawatiran akan tenggelam. Attaque de nervios pada awalanya diidentifikasi di Puerto Rico dan mencakup simtom-simtom fisik serta ketakutan menjadi gila setelah mengalami stress berat.
Dalam DSM-IV-TR gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia. Agorafobia (dalam bahasa Yunani agora yang berarti “daerah pasar”) adalah sekumpulan rasa takut pada tempat-tempat umum dan ketidakmampuan melarikan diri atau mendapatkan pertolongan karena kecemasan. Takut untuk berbelanja pada keramaian, dan melakukan perjalanan sering kali juga dialami. Banyak pasien yang menderita agoraphobia tidak mampu keluar rumah atau melakukannya dengan penderitaan yang sangat. Para pasien yang menderita gangguan panik umumnya menghindari situasi dimana serangan panik dapat berbahaya atau memalukan. Jika penghindaran tersebut meluas, hasilnya adalah panik dengan agoraphobia. (Jika agoraphobia muncul tanpa gangguan panik yang dapat didiagnosis umumnya orang tersebut mengalami simtom-simom panik, namun bukan serangan penuh. Dengan demikian, dalam kedua kasus agoraphobia berkaitan dengan ketakutan mengalami serangan). Gangguan panik dengan agoraphobia atau agoraphobia tanpa riwayat gangguan panik lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.
Lebih dari 80% pasien yang didiagnosis menderita salah satu gangguan anxietas juga mengalami serangan panik (Barlow, dkk., 1985). Koeksistensi gangguan panik dan depresi mayor juga umum terjadi (Johnson & Lydiard, 1988), sebagaimana komorbiditas antara ganggaun panik dan ganggaun anxietas menyeluruh, fobia, (Browndkk., 2001), alkoholisme, dan gangguan kepribadian (Johnson, Weissman, & Klerman, 1990), terutama gangguan kepribadian menghindar, dependen, dan histrionic. Sebagaimana dengan banyak gangguan yang dibahas dalam buku ini, komorbiditas diasosiasikan dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan hasil yang rendah, kemungkinan disebabkan lebih banyak masalah yang harus ditanagni (Newman, dkk., 1998).
Etoilogi Gangguan Panik
Dua teori yaitu biologis dan psikologis telah digunakan untuk menjelaskan gangguan panik:
Teori Biologis
Dalam bebrapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu penyakit memicu beberapa orang mengalami ganggaun panik. Sebagai contoh, sindrom penurunan katup kiri jantung menyebabkan jantung berdebar, penyakit telinga bagian dalam meyebabkan kepusingan yang dirasakan menakutkan bagi beberapa orang dan memicu terjadinya ganggaun panik (Asmundson, Larsen, & Stein, 1998; Hamada dkk., 1998).
Ganggaun panik diturunkan dalam keluarga dan memiliki kesesuaian yang lebih besar pada kembar MZ (kembar identk) disbanding kembar DZ (kembar dua telur). Dengan demikian suatu diathesis genetic mungkin berpengaruh (Hettema, Neale, & Kendler, 2001).
Aktivitas Noradregenik. Teori biologi lain menyatakan bahwa panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam system noradregenik (neuron yang menggunakan norepinefrin sebagai neurotransmitter). Salah satu versi teori ini memfokuskan pada nucleus dalam ponds yang disebut locus ceruleus. Perangsangan terhadap locus curuleus mnyebabkan kera mengalami apa yang terlihat seperti seranagn panik, menunjukkan kemungkinan bahwa serangan yang terjadi secara alami disebabkan oleh aktivitas noradregenik yang berlebihan (Redmond, 1977). Penelitian selanjutnya dengan menggunakan manusia menemukan bahwa yohimbine, obat yang merangsang aktivitas dalam locus ceruleus, dapat menghentikan serangan panik pada pasien ganggaun panik (Charney dkk., 1987). Namun demikian, penelitian yang lebih mutakhir tidak konsisten dengan penemuan tersebut. Penting untuk diketahui, obat-obatan yang menghambat pembakaran dalam locus ceruleus ternyata tidak sangat efektif untuk menangani serangan panik (Mc Nally, 1994).
Pemikiran lain tentang aktivitas noradregenik yang berlebihan adalah bahwa hal itu disebabkan oleh sutu masalah dalam neuron gamma-aminobutyric (GABA) yang secara umum menghambat aktivitas noradregenik. Sejalan dengan pemikiran ini, sebuah studi PET menemukan situs penyatuan reseptor GABA yang lebih sedikit jumlahnya pada pasen ganggaun panik disbanding pada kelompok control (Malizia dkk., 1998), dan level GABA yang rendah dalam korteks oksipital pada pasien gangguan panik (Goddard akk., 2001). Dengan demikian, walaupun tidak ada kesimpulan definitive yang dapat diambil, aktivitas noradregenik yang berlebihan tetap menjadi sasaran penelitian aktif.
Menciptakan Serangan Panik Secara Eksperimen. Penelitian biologi lain memfokuskan pada manipulasi eksperimental yang dapat menimbulkan serangan panik berhubungan dengan hipervntilasi atau pernapasan yang berlebihan (Ley, 1987). Hiperventilasi dapat mengaktifkan sistem saraf otonom, sekaligus memicu aspek-aspek somatik yang tidak asing dalam suatu episode panik. Berdasarkan penemuan bahwa menghirup udara yang mengandung jmlah karbondioksida (CO2) lebih banyak dari jumlah normal dapt menimbulkan srangan panik didalam situasi laboratorium, reseptor CO2 yang terlalu sensitive dianggap sebagai suatu mekanisme yang dapat merangsang hhiperventilasi dan kemudia serangan panik (Gorman dkk., 1988; Klein. 1993). Namun panik dalam lingkungan alaminya, menemukan bahwa hiperventilasi terjadi hanya dalam datu dari 24 serangan (Garssen. Buikhusein, & Van Dyck, 1996). Dengan demikian, penlitian biologi ini tidak berhasil.
Data yang mengindikasikan bahwa beragam factor biologis (a.l., karbondioksida, hiperventilasi) dapat menyebabkan serangan panik juga menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi hanya pada orang-orang yang telah didiagnosis menderita ganggaun tersebut atau pada mereka yang memiliki ketakutan terbesar terhadap sensasi tubuh mereka sendiri (Zinbarg dkk, 2001). Hal ini dapat diartikan bahwa stimuli ini mengaktifkan beberapa macam abnormalitas biologis atau diathesis pada pasien gangguan tersebut (Gorman dkk., 2000). Hanya saja self-report atas tingkat ketakutan yang ditimbulkan oleh factor tersebut berbeda pada kedua kelompok tersebut (Margraf, Ehlers, & Roth, 1986). Dengan demikian, hasilnya dapat mengindikasikan bahwa reaksi psikologis terhadap factor tersebut merupakan hal penting sebuah kemungkinan yang mendasari penanganan yang divalidasi dengan baik bagi gangguan ini seperti akan kita lihat nanti.
Teori Psikologis. Teori psikologi utama mengenai agoraphobia yang sering menyertai ganggaun panik adalah hipotesis ketakutan-terhadap-ketakutan (a.l., Goldstein & Chambless, 1978), yang berpendapat bahwa agoraphobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik d tempat umum.
Classical conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik menjadi dasar satu teori yang diajukan bru-baru ini mengenai serangan panik itu sendiri (Bouton, Mineka, & Barlow, 2001). Panik, sebagaimana kami gambarkan sebelumnya, merupakan kondisi ketakutan ekstrem dan ketegangan otonomik yang sangat kuat. Kecemasan dipandang sebagai kondisi kegugupan dan kekhawatiran. Poin utama teori tersebut adalah serangan panik menjadi terkonsdisi secara klasikal pada sensasi fisik internal yang ditimbulkan oleh kecemasa. Teori ini didukung oleh beberapa studi dimana orang-orang yang menderita ganggaun panik mancatat serangan yang mereka alami dan hal-hal yang memicunya. Kecemasan dan sensasi fisik sering kali dituturkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, serangan panik bukan merupakan hal yang tidak biasa. Mengapa beberapa orang kemudian menderita gangguan panik, sedangkan yang lain mampu mengatasi serangnan tersebut? Salah satu kemungkinan adalah mereka yang kemudian menderita gangguan panik, menganggap serangan tersebut sebagai sesuatuyang tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi serta melihat serangan tersebut sebagai kekuatan tertentu. Hal ini dapat menjadi UCS yang sangat kuat sekaligus meningkatkan conditioning. Kemungkinan lain adalah gangguan panik terjadi pada orang-orang yang secara umum memiliki kecemasan tinggi.
Teori kedua mengenai gangguan panik juga mefokuskan pada gejala-gejala awal suatu serangan, namun menekankan pada kesalahan interpretasi yang bersifat merusak terhadap stimuli ini (Clark, 1996). Serangan panik terjadi bila seesorang merasakan semacam sensasi fisik dan menginterpretasinya sebagai tanda-tanda datangnya kematian. Pikiran tersebut memicu kecemasan yang lebih besar dan sensasi fisik yang lebih banyak sehingga tercipta lingkaran setan.
Dalam suatu pengujian penting terhadap hipotesis ini Telch dan Harrington (1992) meneliti para mahasiswa yang tidak memiliki riwayat serangan panik dan dibagi dalam dua kelompok (skor tinggi dan rendah) berdasarkan skor mereka pada tes yang disebut Anxiety Sensitivity Index, yang mengukur sampai sejauh mana orang merespons dengan penuh rasa takut berbagai sensasi fisi yag dialami. Semua peserta menjalani dua kali uji coba. Dalam uji coba pertama mereka menghirup udara ruangan, dan dalam uji coba kedua mereka menghirup udara dengan konsentrasi karbondioksida yang lebih tinggi dari biasanya. Separuh peserta pada masing-masing kelompok diberitahu bahwa karbon diksida akan membuat rileks, dan separuhnya diberitahu bahwa karbondioksida akan membuat rileks, dan separuhnya diberitahu bahwa karbondioksida akan menyebabkan simtom-simtom ketegangan tinggi. Frekuensi serangan panik pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel. Perhatikan bahwa serangan panik tidak terjadi pada peserta ketika mereka menghirup udara ruangan, menegaskan penemuan sebelumnya. Data tersebut juga menunjukkan bahwa frekuensi seranagn panik lebih tinggi pada peserta yang memiliki ketakutan tinggi tinggi terhadap sensasi fisik yang mereka alami. Terakhir, dan terpenting, frekuensi seranagn paniksangat tinggi pada peserta yang takut terhadap sensasi fisik yang mereka alami, meghirup udara dengan konsentrasi kabon dioksida yang tinggi, dan tidak mengharapkan hal itu akan menyebabkan ketegangan. Hasil ini sangat sesuai dengan prediksi teori tersebut; ketegangan fisiologis yang tidak bisa dijelaskan pada seseorang yang takut terhadap sensasi semacam itu memicu seranagn panik. Terlebih lagi, terungkap bahwa skor pada Anxiety Sensitivity Index dapat diturunkan dalam keluarga sehingga pengukuran ini dapat menjadi sumber diathesis genetik bagi ganggaun panik (Stein, King, & Livesley, 1999).
Studi lain yang berkaitan dengan teori ganggaun panik ini melibatkan para karyawan baru ketika mereka menjalani pelatihan dasar yang penuh stres (Schmidt, Lerew, & Jackson, 1997). Anxiety Sensitivity Index diberikan kepada merekan, kemudian pengukuran klinis menentukan siapa saja yang mengalami serangan panik selama berlangsungnya pelatihan asar. Konsisten dengan teori tersebut, skor tinggi pada Anxiety Sensitivity Index memprediksi terjadinya serangan panik.
Konsep kontrol juga relevan dengan panik. Para pasien yang menderita gangguan tersebut memiliki ketakutan ekstrem kehilanagn kendali, yng sering terjadi jika mereka mengalami serangan ditempat umum. Pentingnya kontrol ditunjukkan dengan jelas dalam suatu studi yang dilakukan Sanderson, Rapee, dan Barlow (1989), yang merupakan pengulanagn konseptual studi sejenis yang dilakukan sebelumnya oleh Geer, Davidson, dan Gatchel (1970), para pasien gangguan panik menghirup karbon dioksida dan diberitahu bahwa ketika sebuah lampu menyala mereka dapat memutar tombol untuk mengurangi konsentrasi karbondoksida. Lampu dinyalakan terus-menerus untuk sparuh peserta, sedangkan untuk separuhnya lagi lampu tersebut tidak dinyalakan sama sekali. Sebenarnya memutar tombol sama sekali tidak memengaruhi tingkat karbon dioksida sehingga studi tersebut mengeveluasi efek kontrol yang dirasakan atas reaksi terhadap faktor tersebut. Sebanyak 80% peserta dalam kelompok yang tidak memiliki kontrol mengalami serangan panik, dibandingkan dengan 20% peserta dalam kelompk yang mengira mreka daat mengontrol karbon dioksida. Perhatikan bahwa selain menunjukkan dengan jelas pentingnya perasaan akan kendali dalam gangguan panik, data tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa bukan faktor biologis semata yang menyebabkan panik, namun lebih pada reaksi psikologis seseorang yang merupakan hal penting.
Terapi Untuk Gangguan Panik dan Agorafobia
Terapi bagi gangguan panik mencakup pendekatan biologis dan psikologis. Bebrapa diantaranya memiliki cukup kesamaan dengan penanganan yang telah dibahas bagi fobia.
Penanganan Biologis. Karena penderrita gangguan panik biasanya berkonsultasi dengan dokter sebelum mereka menemui psikolog atau psikiater, pengobatan psikoaktif umumnya merupakan pananganan awal dan terkadang satu-satunya jenis penanganan yang diterima seseorang. Pemasaran besar-besaran obat-obatan antipanik melalui media kemungkinan juga merupakan suatu faktor. Beberapa obat telah menunjukkan keberhasilan sebagai penanganan biologis bagi ganggaun apanik. Obat-obatan tersebut mencakup antidepresan (penghambat pengembalian serotoninselektif, seperti Prozac, dan antidepresan tiga siklus seperti Tofranil) dan benzodiazepine (seperti Alparozalam atau Xanax) (Roy-Byrne & Cowley, 1998). Bukti efektifitas Alprazolam sangat meyakinkan kerana diperoleh melalui studi berskala besar dan multinasional (Ballenger dkk., 1998).
Pada sisi negatif, bila obat-obatan diberikan oleh dokter keluarga pasien, bukan dalam studi penelitian seperti yang disebutkan diatas, efektivitasnya menurun sebagian besar karena dosis yang kurang atau durasi penanganan yang tidak cukup lama (Roy-Byrne dkk., 2001). Terlebih lagi, sebagian pasien gangguan panik yang diberi obat-obatan tiga siklus dihentikan pengobatannya karena efek samping seperti rasa guggup dan bertambahnya berat badan serta efek samping yang lebih serius seperti denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat (Talor dkk., 1990). Terlebih lagi benzodiazepine menyebabkan kecanduan dan menghasilkan efek samping kognitif dan motorik, sepwerti berkurangnya memori dan kesulitan mengemudi. Dalam upaya untuk mengurangi kecemasan, banyak pasien menggunakan sendiri anxolytic atau alcohol; penggunaan dan penyalahgunaan obat-obatan umum terjadi pada orang-orang yang menderita kecemasan. Walaupun jika hasilnya efektif penanganan dengan obat-obatan harus terus dilakukan dalam waktu yang tidak trebatas karena simtom-simtomm hampir selalu muncul lagi bila ppengobatan dihentikan (fyer, Sandberg, & Klein, 1991). Terakhir, terapi pengendalian kepanikan oleh Barlow tampaknya lebih baik dari terapi obat yang saat ini tersedia, terutama bila dilakukan tindak lanjut jangka panjang, seperti dijelaskan secara rinci dalam bagian berikut.
Penanganan Psikologis. Terapi dengan memmberikan pemaparan seringkali berguna untuk mengurangi agorafobia (atau dalam istilah DSM-IV-TR, gangguan panik dengan agorafobia), dan keuntungan ini sangat dipertahankann selama bertahun-tahun setelah selesainya terapi (Fava dkk., 1995). Beberapa studi menemukan bahwa efek pemaparan meningkat bila pasien didorong untuk rileks selama pemaparan langsung (Michelson, Marchione, & Greenwald, 1989), namun beberapa studi lain tidak menunjukkan manfaat tambahan dari relaksasi (Ost, Hellstrom, & Westling, 1989).
Para pasien yang berstatus menikah dan yang masalah utamanya atau satu-satunya adalah agorafobia telah mendapatkan manfaat dari berbagai terapi yang berorientasi keluarga yang melibatkan pasangannya yang nonfobik, yang didorong untuk tidak lagi mengakomodasi penolakan passangannya untuk keluar ruamah. Program penelitian klinis yang dilakukan Barlow menemukan bahwa keberhasilan terapi pemaparan langsung, dimana seseorang yang menderita agora fobia didorong untuk sedikit demi sedikit meningglakan wilayah “aman”nya, meningkat bila terdapat keterlibatan pasangan (Cerny dkk., 1987). Bertentangan dengan keyakinan bahwa seorang pasangan nonfobik menginginkan pasangnnya untuk tergantung padanya (Milton & Hafner, 1979), kepuasan dalam perkawinan cenderung meningkat seiring pasangannya ketakutan menjadi semakin beani (Craskedkkk., 1992; Himadi dkkk., 1986). Dengan demikian, walaupun dapat dipahami bahwa seorang pasangan dapat menjadi perhatian, mungkin karena kekhawatiran yang beralasan terhadap kesejahteraan pasangannya, mungkin karena kebutuhan dalam dirinya untuk memiliki pasangan yang lemah dan tergantung, data hasil menunjukkan bahwa hubungan menjadi semakin baik ketika pasangan yang menderita agora fobia semakin berkurang ketakutannya (Craske & Barlow, 2001).
Menangani agorafobia melalui pemaparan tidak selalu mengurangi serangan panik (Michelson, Mavissakalian, & Marchone, 1985). Dengan demikian, penenganan psikologis terhadap gangguan panik telah berubah arah dalam beberapa tahun terakhir, memfokuskan pada penemuan yang disebutkan sebelumnya bahwa bebrapa pasien mengalami kekhawatiran yang berlebihan ketika merasakan berbagai sensasi fisik yang tidak berbahaya dan beraksi secara berlebihan. Suatu terapi yang divalidasi dengan baik yang dikembangkan oleh Barlow dan rekan-rekannya dan disebut terapi pengendalian kepanikan (PCT-panic control theraphy) memiliki tiga komponen utama :
1. Training relaksasi;
2. Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck;
3. Bagian terbaru, pemaparan dengan tanda-tanda intrenal yang memicu kepanikan (Barlow, 1988; Barlow & craske, 1994; Craske & Barlow, 2001).
Mari kita bahas komponaen ketiga secara lebihrinci karena benar-benar cukup inovatif. Terapis mempersuasi klien untuk berlatih berbagai perilaku yang dapat menimbulkan perasaan yang berkaitan dengan kepanikan dan dlakukan di ruang konsultasi. Sebagai contoh, seorang yang mengalami serangan panik yang diawali dengan hiperventilasi diminta untuk bernapas dengan cepat selama tiga menit; seseorang yag merasa pusing dapat diminta untuk berputar dikursi selama beberapa menit. Ketika sensasi seperti kepusingan, mulut kering, kepala menjadi ringan, denyut jantung meningkat, dan tanda-tanda panik lain mulai terjadi, klien (1) mengalaminya dalam kondisi yang aman dan (2) menerapkan taktik coping kognitif dan relaksasi yang dipelajari sebelumnya (yang dapat mencakup bernapas dari diagfragma dan bukan dengan hiperventilasi).
Dengan latihan dan dorongan atau persuasi dari terapis, klien belajar untuk mengintrepretasi berbagai sensasi internal dari sesuatu yag menjadi tanda-tanda hilangnya kontrol dan kepanikan menjadi tanda-tanda yang secara instrinsik tidak berbahaya dan dapat dikendalikandengan keterampilan tertentu. Penciptaan sensasi fisik dengan sengaja oleh klien, disertai dengan keberhasilan mengatasinya, mengurangi ketidakterdugaan dari sensasi tersebut dan mengubah maknanya bagi klien (Craske, Maindenberg, & Bystritsky, 1995).
Tindak lanjut yang dilakukan selama dua tahun menunjukkan bahwa keuntungan terapeutik terapi kognitif dan pemaparan ini bertahan hingga tingkat yang signifikan dan lebih baik dibanding keuntungan yang dihasilkan darii penggunaan alprazolam (Xanax) (Craske, Brown, & Barlow, 1991), walaupun banyak pasien yang tidak terbebas dari kepanikan (Brown & Barlow, 1995). Baru-baru ini studi komparatif Multilokasi tehadap penanganan gangguan Panik mulai memublikasi penemuannya yang membandingkan PCT, imipramine, placebo, kombinasi PCT dan impramine, PCT plus placebo, imipramine plus placebo (Barlow, Gorman, Shear, & Woods, 2000). Semua penanganan diberikan sekali seminggu selama tiga bulan, diikuti dengan tindak lanjut selama enam bulan bagi mereka yang kondisinya membaik dalam tiga bulan penanganan mingguan. Terakhir, enam bulan kemudian, dilakukan pengukuran sebagai tindak lanjut. Hasil-hasil yang dipublikasikan sejauh ini antara lain sebagai berikut:
· PCT dan imipramine lebih baik dibanding placebo segera setelah penanganan.
· PCT yang dikombinasikan dengan imipramine tidak lebih baik dibanding PCT plus placebo segera setelah penanganan.
· PCT yang dikombinasikan dengan imipramine tidak lebih efektif dibandingkan bila keduanya diberikan secara tersendiri segera setelah penanganan.
· Setelah enam bulan terapi tindak lanjut, semua penanganan lebih efektif dibanding placebo.
· Dalam enam bulan tindak laut, mereka yang hanya ditangani dengan PCT leih baik kondisinya dibanding mereka yang ditangani dengan PCT plus placebo atau imipramine. Dengan kata lain, banyak pasien yag meminum obat mengalami kekambuhan.
Secara umum, dlam banyak studi, lebih dari separuh pasien gangguan panik yng ditangani dengan PCT terbebas dari kepanikan pada akhir penanganan dan hampir sepertiganya “sembuh” dalam 6 hingga 12 bulan tindak lanjut (Telch dkk., 1995). Ini merupkan statistik yang mengesanan, khususnya hasil tindak lanjut, terutama bila dibandingkan dengan terapi obat. Terapi behavioral-kognitif sejenis yang dikembangkan secara terpisah oleh Clark (1989; Salkovskis & Clark, 1991) juga menunjukkan efek menguntungkan bagi ganggaun panik (Clark, Watson, & Mineka, 1994).
3. Gangguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
Individu yang menderita gangguan anxietas menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD) terus menerus merasa cemas, sering ali tentang hal-hal kecil. Sebagian besar di antara kita dari waktu ke waktu memiliki kekhawatiran. Namun, pasien yang menderita GAD memiliki kekhawatiran yang kronis. Mereka menghabiskan sangat banyak waktu mengkhawatirkan banyak hal dan mengganggap kekhawatiran mereka sebagai sesuatu yang tidak dapat dikontrol (Ruscio, Borkovek, & Ruscio, 2001). Kekhawatiran yang paling sering dirasaan oleh para pasien GAD adalah kesehatan mereka dan masalah sehari-hari, seperti terlambat menghadiri pertemuan atau terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Diagnosis GAD tidak ditegakkan jika kekhawatiran berkaitan dengan masalah-masalah yang dipicu oleh gangguan Aksis 1 lain, contohnya, kekhawatiran terhadap kontaminasi yang ersifat tidak dapat dikendalikan pada GAD dikonfirmasi oleh self-report dan data laboratorium (Becker dkk, 1998; Craske dkk, 1989). Ciri lain GAD mencakup kesulitan berkonsentrasi, sangat mudah lelah, ketidaksabaran, mudah tersinggung, dan ketegangan otot yang amat sangat.
Walaupun para pasien yang menderita gangguan anxietas menyeluruh umumnya tidak mengupayakan penanganan psikologis, prevalensi sepanjang hidup gangguan ini cukup tinggi; gangguan ini terjadi pada sekitar 5 persen dari populasi umum (Witichen & Hoyer, 2001). GAD umumnya mulai dialami pada pertengahan masa remaja, walaupun banyak orang yang menderita gangguan anxietas menyeluruh menuturkan bahwa mereka mengalami masalah tersebut sepanjang hidupnya (Barlow dkk, 1986). Berbagai peristiwa penuh stress dalam hidup tampaknya cukup berperan terhadap terjadinya gangguan ini (Blazer, Hughes, & George, 1987). Gangguan ini terjadi dua kali lebih banyak pada perempuan dibanding pada laki-laki, dan memili tingkat komorbiditas tinggi dengan gangguan anxietas lain dan dengan gangguan mood (Brown dkk, 2001). Sulit untuk berhasil menangani gangguan anxietas menyeluruh. Dalam suatu studi tindak lanjut selama lima tahun, hanya 18 persen pasien yang tidak lagi mengalami simtom-simtom gangguan tersebut (Woodman dkk, 1999) walaupun angka tersebut memiliki kemungkinan menigkat seiring dengan lebih baik banyak penggunaan terapi kognitif-berhavioral yang dibahas di bawah ini oleh para ahli klinis.
Kriteria DSM-IV-TR untuk GAD
Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan
Kekhawatiran tersebut sulit dikendalikan
Pasien mengalami tiga atau lebih diantara hal-hal berikut: ketidaksabaran, sangat mudah lelah, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, ketegangan otot, gangguan tidur.
Etiologi Gangguan Anxietas Menyeluruh
Etiologi gangguan anxietas menyeluruh mencakup perspektif psikoanalisis, kognitif-behavioral, dan biologis.
Pandangan Psikoanalisis. Teori psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kecemasan menyeluruh adalah konflik yang tidak didasari antara ego dan impuls-impuls id. Impuls-implus tersebut, yang biasanya bersifat seksual atau agresif, berusaha untuk mengekspresikan diri, namun ego tidak membiarkannya karena tanpa didasari ia merasa takut terhadap hukuman yang akan diterima. Karena sumber kecemasan tidak didasari, individu terkait mengalami kecemasan dan distress tanpa diketahui mengapa demikian. Sumber kecemasan yang sebenarnya-yaitu hasrat-hasrat yang berhubungan dengan impuls-impuls id yang ditekan dan berjuang untuk mengekspresikan diri-selalu hadir. Dengan kata lain, tidak ada cara untuk menghindar kecemasan; jika seseorang meninggalkan id ia tidak lagi hidup. Dengan demikian, orang tersebut hampir selalu mengalami kecemasan. Pasien penderita fobia mungkin dianggap lebih beruntung karena, menurut teori psikoanalisis, kecemasannya dialihkan ke objek atau situasi tertentu, yang kemudian dapat dihindarinya. Orang yang menderita gangguan anxietas menyeluruh tidak mengembangkan tipe pertahanan tersebut sehingga selalu merasa cemas.
Pandangan Kognitif-Behavioral. Pemikiran utama teori kognitif-behavioral tentang GAD adalah gangguan tersebut disebabkan oleh proses-proses berpikir yang menyimpang. Orang-orang yang menderita GAD sering kali salah mempresepsi kejadian-kejadian biasa, seperti menyeberang jalan, sebagai hal yang mengancam, dan kognisi mereka terfokus pada antisipasi berbagai bencana pada masa mendatang (Beck dkk, 1987; Ingram & Kendall 1987; Kendall & Ingram, 1989). Perhatian para pasien GAD mudah terarah pada stimuli yang mengancam (Mogg, Millar, & Bradler, 2000; Thayer dkk, 2000). Terlebih lagi, pasien GAD lebih terpicu untu menginterpretasi stimuli yang tidak jelas sebgai suatu yang mengancam dan untuk menilai berbagai kejadian yang mengancam lebih mungkin terjadi pada mereka (Butler & Mathews, 1983). Sensitivitas pasien GAD yang sangat tinggi terhadap stimuli yang mengancam juga muncul walaupun bila stimuli tersebut tidak dapat diterima secara sadar ( Bradley dkk, 1995).
Pandangan kognitif lain diajukan oleh Borkovec dan para koleganya (a.l., Borkovec & Newman, 1998; Borkovec, Roemer, & Kinyon, 1995). Mereka memfokusan pada simtom utama GAD, yaitu kekhawatiran. Berdasarkan perspektif hukuman seseorang mungkin bertanya-tanya mengapa ada orang yang sering merasa khawatir karena kekhawatiran dianggap sebagai kondisi negative yang seharusnya tida mendorong pengulangannya. Borkovec dan para koleganya mengumpulkan bukti-bukti bahwa kekhawatiran merupakan penguatan negative; ia mengalihan pasien dari berbagai emosi negative sehingga oleh hasil yang positif bagi individu terkait.
Kunci untuk memahami posisi ini adalah menyadari bahwa kekhawatiran tidak menciptakan banyak ketegangan emosional. Sebagai contoh, hal itu tidak menciptakan berbagai perubahan fisiologi yang biasanya menyertai emosi, dan pada kenyataannya menghambat pemrosesan stimuli emosional. Dengan demikian melalui rasa khawatir, orang-orang yang menderita GAD menghindari berbagai citra yang tidak mengenakkan. Dan sebagai konsekuensinya kecemasanyang mereka rasakan terhadap berbagai citra tersebut tidak hilang. Apa saja citra yang memicu kecemasan yang dihindari oleh para pasien penderita GAD? Salah satu kemungkinan berasal dari data yang menunjukkan bahwa para penderita GAD menuturkan mengalami lebih banya pascatrauma yang mencakup kematian, cedera, atau penyakit. Namun demikian, hal tersebut bukan sesuatu yang mereka khawatirkan; kekhawatirkan dapat mengalihkan para penderita GAD dari berbagai citra pascatrauma yang menyakitan tersebut.
Perspektif Biologis. Beberapa studi mengindikasikan bahwa GAD dapat memiliki komponen genetic. GAD sering ditemukan pada orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan penderita gangguan ini, dan terdapat kesesuaian yang lebih tinggi di antara kembar MZ disbanding kembar DZ. Namun tingkat komponen genetic ini tampaknya rendah (Hettema, M. Neale, & Kendler, 2000).
Model neurobiologist yang paling umum untuk gangguan anxietas menyeluruh dilandasi oleh pengetahuan mengenai cara kerja benzodiazepine, suatu kelompok obat-obatan yang sering kali efektif untuk menangani kecemasan. Para peneliti menemukan suatu reseptor dalam otak untuk benzodiazepine yang berhubungan dengan neurotransmitter yaitu asam gamma-aminobutyric (GABA). Pada reaksi ketakutan yang normal, neuron di seluruh otak memicu dan menciptakan kecemasan. Proses tersebut juga merangsang system GABA, yang menghambat aktifitas ini dan mengurangi kecemasan. GAD dapat disebabkan oleh kerusakan dalam system GABA sehingga kecemasan tidak dapat dikendalikan. Benzodiapine dapat mengurangi kecemasan dengan meningkatkan pelepasan GABA. Secara sama, obat-obatan yang menghambat system GABA memcu peningkatan kecemasan (Insell, 1986). Banyak hal yang masih harus dipelajari, namun pendekatan ini tampaknya ditakdirkan untu meningkatkan pemahaman kita tehadap kecemasan.
Terapi Gangguan Anxietas Menyeluruh
Seperti telah disebutkan, GAD sulit ditangani dengan berhasil. Terapi mencakup pendekataan psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis.
Pendekatan Psikoanalisis. Karena memandang gangguan anxietas menyeluruh berakar dari konflik-konflik yang ditekan, sebagian besar psikoanalis bekerja untuk membantu pasien menghadapi sumber-sumber konflik yang sebenarnya. Penanganannya hamper sama dengan penanganan fobia.
Satu studi tanpa control menggunakan intervensi psikodinamika yang memfokuskan pada konfli interpersonal dalam kehidupan masa lalu dan masa kini pasien dan mendorong cara yang lebih adaptif untuk berhubungan dengan orang lain pada saat ini, sama dengan para terapis kognitif behavioral mendorong penyelesaian masalah sosial (cf. hlm. 582). Hasil-hasil intervensi ini cukup menggembirakan dan pantas untuk diteliti lebih dalam dengan ontrol eksperimental yang lebih baik seperti kelompok control tanpa penanganan dan kelompok control pembanding (Crist-Christoph., 1996).
Pendekatan Behavioral. Para ahli klinis behavioral menangani kecemasan menyeluruh dengan berbagai cara. Jika terapis menganggap kecemasan sebagai serangkaian respons terhadap berbagai situasi yang dapat diidentifikasi, apa yang tampak sebagai kecemasan yang bebas mengalir dapat diformulasikan pada satu fobia atau lebih atau kecemasan berisyarat. Sebagai contoh, seorang terapis behavioral dapat menyimpulkan bahwa lkien yang mengalami kecemasan menyeluruh tampaknya secara lebih spesifik memiliki ketakutan untuk mengkritik dan dikritik orang lain. Kecemasan tampak bebas mengalir hanya karena klien menghabiskan sangat banyak waktu dengan banyak orang. Desentisisasi sistematis menjadi kemungkinan terapi. Tentu saja, berdasarkan sudut pandang DSM, pasien semacam itu tidak akan memenuhi criteria diagnosis GAD. Terapis perilaku harus memformulasi ulang apa yang awalnya tampak sebagai GAD menjadi semacam fobia.
Walaupun demikian, dapat terjadi kesulitan untuk menemukan penyebab spesifik kecemasan yang diderita pasien semacam itu. Kesulitan ini memicu para ahli klinis behavioral untuk memberikan penanganan yang lebih umum, seperti training intensif, dengan harapan bahwa belajar untuk rileks ketika mulai merasa tegang seiring mereka menjalani hidup akan mencegah kecemasan berkembang tanpa kendali (Barlow dkk.,1984; Borkovec &Mathews, 1988; Ost, 1987b). Para pasien diajarkan untuk melemaskan ketegangan tingkat rendah, merespon kecemasan yang baru muncul dengan relaksasi daripada dengan kepanikan (Goldfrie, 1971; Suinn & Richardson, 1971). Baru-baru ini, strategi ini telah dibuktikan sangat efektif untuk mengurangi GAD (a.l., Borkovec &Roemer, 1994; Borkovec &whisman,1996; lihat juga kajian DeRubies & Crist-Christoph, 1998; Borkovec & Ruscio, di media).
Pendekatan Kognitif. Jika suatu perasaan tidak berdaya tampaknya mendasari kecemasan pervasive, terapis berorientasi kognitif akan membantu klien menguasai keterampilan apapun yang dapat menumbuhkan perasaan kompeten. Keterampilan tersebut termsuk asetivitas, dapat diajarkan melalui instruksi verbal, modeling, atau pembentukan operant-dan sangat mungkin kombinasi secara hati-hati dari ketiganya (Goldfried & Davidson, 1994).
Bukan suatu hal yang mengejutkan, teknik-teknik kognitif juga digunakan dalam penanganan kekhawatiran kronis, komponen utama GAD. Kekhawatiran, walau bagaimanapun, merupakan kejadian kognitif-memikirkan berbagai kemungkinan yang menakutkan. Pendekataan Borkovec (a.l., Borkovec & Costello, 1993) mengkombinasikan berbagai elemen Wolpe dan Beck, yaitu ia mendorong pemaparan bertingkat terhadap berbagai situasi yang menyebabkan kekhawatiran seiring pasien mencoba menerapkan keterampilan relaksasi dan analisis logis terhadap berbagai hal (a.l., seberapa besar kemungkinan terjadinya sesuatu yang benar-benar mengerikan?).
Secara kontras, Barlow dan rekan-rekannya lebih menyukai pemaparan dalam waktu lama dan berlebihan terhadap sumber masalah kecemasan berlebihan seseorang (Brown, O’leary, & Barlow, 2001). Sebagai contoh, seseorang yang merasa khawatir mengapa pasangannya pulag terlambat dari perjalanan bisnisnya akan didoronh untuk membayangkan kemungkinan terburuk-pesawat yang ditumpanginya jatuh. Pasien diminta membayangkan hal ekstrem dan sangat tidak mungkin tersebut selama setengah jam atau lebih dan kemudian memikiran sebanyak mungkin kemungkian lain atas keterlambatan tersebut, misalnya kesulitan memperoleh taksi atau terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Diasumsikan bahwa dua proses yang berlangsung dibawah ini mengurangi kekhawatiran pasien.
1. Karena pasien tetap berada dalam situasi yang menakutkan, kecemasan diyakinkan akan terhapus.
2. Dengan mempertimbangkan kemungkinan ketakutan terburuk yang dapat terbayangkan, pasien mengubah reaksi kognitifnya terhadap keterlambatan pasangannya.
Dengan kata lain, pasien belajar untuk memikiran berbagai sebab yang kurang menakutkan dari suatu kejadian tertentu.
Stategi Barlow ini mengingatkan pada teknik yang melebih-lebihkan yang dikembangkan bertahun-tahun lalu oleh Arnold Lazarus (1971). Dia menjelaskan penerpan teknik ini dalam gambaran klinis berikut ini.
[pasien ini memiliki] kecenderungan untuk selalu mengecek toilet pria di bioskop untuk mengawasi kemungkinan terjadi kebakaran. Umumnya, pada saat jeda, atau sebelum duduk di kursinya, ia akan masuk ke toilet pria, merokok sebatang, kemudian masuk ke bioskop. Tidak lama kemudian, dia akan merasa sangat panik. Dia akan bertanya pada diri sendri, ”apakah saya secara tidak sengaja menyebabkan kebakaran di toilet pria?” ia akan meninggalkan kursinya dan segera kembali ke toilet pria dan dengan teliti mengecek bahwa tidak ada kebakaran yang terjadi. Ketika kembali kekursi ia akan merasa bahwa ia mungkin gagal mendeteksi adanya kebakaran, dan segera merasakan dorongan luar biasa untuk kembali ke toilet dan memastikan lebih teliti…..
Saya…memberinya instruksi berikut ini: “bila dorongan untuk mengecek muncul dalam diri anda, jangan tinggalkan kursi anda. Karena, saya ingin anda membayangkan bahwa memang telah terjadi kebakaran. Pertama, bayangkan api membakar kertas toilet kemudian kloset, menyebar ke pintu, ke seluruh lantai sehingga akhirnya seluruh ruangan toilet pria terbakar. Kemudian, sambil tetap duduk di kursi anda, bayangkan api tersebut menyebar keluar toilet dan mencapai lobi. Api segera membakar karpet dan tidak lama kemudian seluruh bioskop telalap api. Kebakaran ini tidak seperti kebakaran lain. Kebakaran ini tidak dapat dihentikan. Sambil masih tetap duduk di kursi anda, bayangkan seluruh wilayah di sekitarnya terbakar. Para petugas pemadam kebakaran gagal memadamkan api, sementara api terus merambat ke seluruh wilayah yang berada di sekitarnya sampai seluruh kota terbakar. Dan api masih terus merambat. Satu demi satu kota-kota terlalap api dalam reaksi berantai yang luar biasa ini sampai seluruh negeri terbakar. Api bahkan menyebar melewati samudera sampai seluruh dunia terbakar. Akhirnya seluruh alam semesta terbakar dalam api yang menyala-nyala.” (Lazarus, 1971, hlm. 231).
Pasien tersebut seperti diungkapkan oleh Lazarus merasakan latihan tersebut sangat bermanfaat seiring ia menikmati fantasi yang meluap-luap tersebut, menganggapnya sebagai suatu yang menggelikan. Tidak lam setelah itu ia tidak lagi terganggu oleh kekhawatirannya.
Data hasil uji klinis terkontrol sejauh ini konsisten dalam menunjukkan bahwa berbagai pendekatan kognitif-behavioral lebih berpengaruh dibanding terapi placebo atau terapi-terapi alternative seperti terapi Rogerian (Barlow dkk., 1998; Borkovec, Newman, Pincus, & Lytle, di media; Brown dkk., 2001). Perlu dicatat secara khusus-dengan pengecualian berbagai studi yang dilakukan Borkovec dan Costello (1993) dan Borkovec dkk. (di media)-adalah penemuan bahwa tidak banyak pasien dalam berbagai terapi yang dievaluasi menunjukkan apa yang disebut sebagai keberfungsian tingkat tinggi, yaitu tingkat kecemasan atau kekhawatiran yang sangat minimal yang sama dengan mereka yang tidak didiagnosis menderita GAD. Dengan kata lain, banyak pasien GAD, walaupun menunjukkan perbaikan, tetap mengalami banyak simtom kecemasan (a.l., Stanley dkk., 1996).
Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan terapi benzodiapine, terapi kognitf-perilaku tampak lebih unggul; memang, bila dikombinasikan dengan terapi obat, hasilnya lebih buruk dibanding bila digunakan tanpa dikombinasikan (Power dkk., 1990). Terlebih lagi, beberapa studi terapi kognitif-perilaku bagi GAD menemukan bahwa perbaikan kondisi berkaitan dengan kedatangan pasien yang ingin mengurangi ketergantungan pada obat-obatan psikoaktif, seperti tranquilizer minor yaitu Valium. Ini merupakan bukti tidak langsung, namun sangat persuasive bagi efektivitas intervenvi kogitif-behavioral (Brown dkk., 2001).
Pendekatan Biologis. Anxiolytic, seperti jenis yang disebutkan untuk menangani fobia dan gangguan panik, mungkin merupakan penanganan yang paling banyak digunakan untuk anxietas menyeluruh. Obat-obatan, terutama benzodiapine, seperti Valium dan Xanax, juga buspirone (BuSpar), sering kali digunakan karena pervasivitas gangguan. Setelah diminum, obat-obatan tersebut akan bekerja selama beberapa jam dalam berbagai situasi yang dihadapi. Sejumlah studi double blind menegaskan bahwa obat-obatan tersebut memberi lebih banyak manfaat bagi para pasien GAD disbanding placebo (Apter & Allen, 1999). Beberapa studi menunjukkan efektivitas beberapa antidepresan tertentu, dari jenis tricyclic dan SSRI (Pollack dkk., 2001; Roy-Byrne & Cowley, 1998).
Sayangnya, obat-obatan tersebut memiliki efek samping yang tidak dikehendaki, mulai dari mengantuk, kehilangan memori, dan depresi, hingga ketergantungan fisik serta kerusakan organ-organ tubuh. Selain itu, jika pasien tidak minum obat, manfaat yang diperoleh biasanya akan hilang (Barlow, 1988). Mungkin hilangnya manfaat tersebut terjadi karena pasien (memang benar demikian) mengatribusikan perbaikan kondisi pada hal eksternal, yaitu pengobatan itu sendiri, bukan pada perubahan internal dan upaya coping yang dilakukannya (Davidson & Valins, 1969). Dengan demikian, pasien tetap mempercayai bahwa kemungkinan kecemasan dan kekhawatiran tetap tidak dapat dikendalikan.
4. Gangguan Obsesif – Kompulsif (Obsessive Compulsive Disorder - OCD)
Sebagian besar diantara kita memiliki pikiran yang tidak dikehendaki dari waktu kewaktu, dan sebagian besar diantara kita memiliki dorongan pada saat ini atau kelak untuk melakukan perilaku tertentu yang memalukan atau bahkan berbahaya. Namun, hanya sedikit diantara kita yang menderita gangguan obsesif kompulsif ( Obsessive Compulsice Disorder – OCD ), suatu gangguan anxietas dimana pikiran dipenuhi dengan pemikiran yang menetap dan tidak dapat dikendalikan dan individu dipaksa untuk terus menerus mengulang tindakan tertentu, menyebabkan distress yang signifikan dan mengganggu keberfungsian sehari-hari.
X adalah seorang remaja madya yang saat ini sedang kuliah disuatu universitas. sudah beberapa hari ini ia mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan. kebiasannya adalah mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-temannya juga heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi kepada psikolog sekolahnya ia baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai menceritakan kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A. saat kecil keduanya pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa ini membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif), dan tiap kali ia mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang. (kompulsif).
Contoh 2:
Bencine berusia 45 tahun ketika mulai menjalani terapi. Ini keempat kalinya ia menjalani terapi rawat jalan, sebelumnya ia pernah dua kali dirawat di rumah sakit. Gangguan obsesif – kompulsif yang dideritanya bermula sejak 12 tahun lalu, tidak lama setelah kematian ayahnya. Sejak itu gangguan tersebut sering kambuh dan baru baru ini menjadi separah yang pernah dialami.
Bernice terobsesi ketakutan mengalami kontaminasi, suasana ketakutan yang secara tidak jelas dikaitkannya dengan kematian ayahnya karena pneumonia. Walaupun dia menuturkan bahwa dia takut pada hamper semua hal , karena kuman dapat berada dimana pun,ia khususnya tidak nyaman bersentuhan dengan kayu ,”objek yang bergores,” surat, benda benda yang di kemas kaleng, dan “noda perak.” Noda perak yang di maksud Bernice adalah cetakan bewarna perak pada kartu ucapan, bingkai kaca mata, peralatan yang mengkilap, dan perabot perak. Ia tidak dapat menyatakan mengapa objek objek tersebut merupakan sumber kemungkinan kontaminasi.
Untuk mencoba mengurangi rasa tidak nyamannya, Bernice melakukan berbagai ritual kompulsif yang menghabiskan hampir seluruh waktunya.pagi hari ia menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam di kamar mandi, berulang kali mandi. Di antara waktu mandi ia mengelupas lapisan luar sabun mandinya sehingga sepenuhnya bebas dari kuman. Waktu makan juga berlangsung selama berjam-jam, seiring Bernice melakukan ritualnya – makan tiga suap makana. Pada satu waktu, engunyah setiap suapan 300 kali. Langkah ini dimaksudkan untuk secara ajaib menghilangkan kontaminasi pada makanannya. Suami Bernice kadangkala bahkan terlibat dalam upacara makn tersebut, mengocok teko teh dan sayuran beku di atas kepala Bernice untuk menghilangkan kuman. Ritual yang dilakukan Bernice dan ketakutannya terhadap kontaminasi telah merendahkan nilai kehidupannya sehingga hampir tiap melakukan apapun selain itu. Ia tidak keluar rumah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, atau bahkan berbicara melalui telepon
Prevalensi sepanjang hidup gangguan obsesif – kompulsif berkira 2,5 persen dan sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki laki ( Karno & Golding , 1991; Karno dkk., 1988; Stein dkk., 1997 ). Usia onset gangguan ini tampaknya bimodal, yaitu terjadi sebelum usia sepuluh tahun atau pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa ( Conceicao do Rasario – Campos dkk., 2001 ). Gangguan ini juga dilaporkan pada anak anak berusia dua tahun ( Rapoport, Swedo, & Leonard, 1992 ). Di antara kasus kasus terjadinya pada usia yang lebih dewasa, GOK sering kali dialami setelah kejadian yang penuh stress, seperti kehamilan, melhirkan, konflik keluarga, atau kesulitan dipekerjaan ( Kringlen, 1970 ).
Kemunculan pada usia muda lebih banyak terjadi pada laki laki dan berkaitan dengan kompulsi membersihkan ( Noshirvani dkk., 1991 ). Dalam suatu episode depresi, para pasien kadang kadang mengalami gangguan obsesif – kompulsif dan depresi yang signifikan sering di temukan pada pasien obsesif-kompulsif ( karno dkk., 1988; Rachman & Hodgson, 1980). Gangguan obsesif – kompulsif juga menunjukkan komorbiditas dengan gangguan anxietas lain, terutama dengan gangguan panik dan fobia (Austin dkk., 1990), dan dengan berbagai gangguan kepribadian ( Baer dkk ., 1990; Mavissikalian , Hammen, & Jones, 1990).
Obsesi adalah pikiran, impuls,dan citra yang mengganggu dan berulang yang muncul dengan sendirinya serta tidak dapat dikendalikan, walaupun demikian biasanya tidak selalu tampak irasional bagi individu yang mengalaminya. Bila banyak diantara kita yang mungkin memiliki pengalaman singkat yang sama, individu yang obsesif, seperti kasus Bernice di atas, mengalaminya dengan dorongan dan frekuensi semacam itu sehingga mengganggu keberfungsian normal. Secara klinis, obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan ketakutan akan kontaminasi, ketakutan mengekspresikan implus seksual atau agresif, dan ketakutan hipokondrial akan disfungsi tubuh (Jenike, Baer, & Minichiello, 1986). Obsesi juga dapat berupa keragu- raguan ekstrem, prokrastinasi, dan ketidaktegasan.
Dalam beberapa pikiran obsesif sama dengan kekhawatiran yang menjadi ciri gangguan anxietas menyeluruh. Gangguan ini penuh “ bagaimana jika” - kekhawatiran berulang yang berlebihan tentang kemungkinan terjadinya peristiwa negative yang tidak mungkin. Perbedaan diantara kedua gangguan tersebut biasanya dalah para penderita OCD mengalami kekhawaturan mereka sebagai “ ego alien “ atau “ego distonik “, yaitu mereka menganggap pikiran tersebut sebagai sesuatu yang dimasukkan dari luar diri dan sangat tidak masuk akal. Secara kontras, penderita GAD mampu menyusun argument logis yang masuk akal tentang kekhawatiran yang mereka rasakan. Pada akhirnya, jika anak saya pulang terlambat dari sekolah, ada kemungkinan bahwa ia di culik. Secara alternatif, bila pikiran obsesif sangat diyakini oleh seseorang sebagai suatu kabenaran ( sebagaimana terjadi pada sekitar 5 persen kasus), dan jika tidak terdapat perilaku kompulsif, kemungkinan seseorang mengalami gangguan delusional atau bahkan mungkin skizofrenia (lihat bab II untuk penjelasan rinci mengenai gangguan psikotik ini) (Elsen dkk., 1998).
Kompulsi adalah perilaku atau tindakan mental repetitif yang mana seseorang merasa didorong untuk melakukannya dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan pikiran – pikiran obsesif atau untuk mencegah terjadinya suatu bencana. Aktivitas tersebut tidak berhubungan secara realistis dengan tujuan yang ada jelas berlebihan. Sebagai contoh, Bernice tidak perlu mengunyah setiap suap makanan sebanyak 300 kali, individu yang terus menerus mengulang beberapa tindakan takut terhadap konsekuensi mengerikan yang terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan.frekuensi pengulangan suatu tindakan, fisik atau mental, dapat luar biasa tinggi. Konpulsi yang umum dilaporkan mencakup hal-hal berikut;
· Mengupayakan kebersihan dan keteraturan, kadang kala melalui upacara rumit yang memakan waktu berjam-jamdan bahkan sepanjang hari;
· Menghindari objek tertentu, seperti menghindari segala sesuatu yang bewarna coklat;
· Melakukan peraktik-peraktik repetitif, magis, dan protektif, seperti menghitung, mengucapkan angka tertentu, atau menyentuh semacam jimat atau bagia tubuh tertentu;
· Mengecek sebanyak tujuh atau delapan kali untuk memastikan bahwa tindakan yang telah dilakukan benar-benar telah dilakukan, contohnya, lampu, pemantik kompor, atau katup telah dimatikan, jendela telah ditutup, pintu telah dikunci;
· Melakukan suatu tindakan tertentu, seperti makan dengan sangat lambat.
Kita sering kali mendengar orang-orang digambarkan sebagai penjudi kompulsif, pelahap makanan kompulsif, dan peminum kompulsif.banyak individu yang dapat saja menuturkan memiliki dorongan yang tidak dapat ditahan untuk berjudi, makan dan minum alkohol, namun perilaku semacam itu secara klinis tidak dianggap sebagai suatu kompulsi karena sering kali dilakukan dengan perasaan senang. Kompulsi yang sebenarnya sering dianggap oleh pelaku sebagai sesuatu yang tidak berasaldari diri (ego distonik). Stern dan Cobb (1978) menemukan bahwa 78 persen dari sampel individu kompulsif memandang ritual mereka senagai “cukup bodoh atau aneh” walaupun mereka tidak mampu menghentikannya.
Konsekuensi yang sering terjadi pada gangguan obsesif-kompulsif adalah efek negatif terhadap hubungan dengan orang lain, terutama anggota keluarga. Orang orang yang terbebani kebutuhan yang tidak dapat ditahan untuk mencuci tangan setiap sepuluh menit, atau menyentuh setiap pegangan pintu yang mereka lalui, atau menghitung setiap keeping keramik dikamar mandikemungkinan menimbulkan kekhawatiran dan bahkan kemarahan pada pasangan, anak-anak, teman-teman,bahkan rekan-rekan kerja. Dan perasaan antagonistik yang dialami oleh orang orang dekat tersebut kemungkinan bercampur dengan rasa masalah karena pada tingkat tertentu mereka memahami bahwa orang tersebut benar benar tidak dapat memahami dirinyauntuk melakukan hal - hal yang tidak masuk akal tersebut.
Efek yang tidak dikehendaki pada orang lain, pada akhirnya, akan menambah konsekuensi nagatif, menimbulkan perasaan depresi dan kecemasan menyeluruh pada penderita obsesif-kompulsif dan menjadi awal deteriosasi yang lebih buruk dalam hubungan pribadi. Karena alas an itu para terapis keluarga( Hafner, 1982; Hafner dkk., 1981) berpendapat bahwagangguan obsesif kompulsif kadangkala tertanam dalam ketegangan perkawinan dan pada kenyataannya mengganti konflik terbuka dalam perkawinan. Hipotesis spekulatif ini memperingatkan para terapis untuk mempertimbangkan terapi pasangan dan juga terapi individual.
Etiologi Gangguan Obsesif – Kompulsif
Kita beralih ke pembahasan mengenai pandangan psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis terhadap etiologi gangguan obsesif kompulsif.
Teori Psikoanalisis. Dalam teori psikoanalisis, obsesi dan kompulsi dipandang sebagai hal yang sama, yang disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau agresif yang tidak dapat dikendalikan karena toilet training yang terlalu keras. Yang bersangkutan kemudian terfiksasi pada tahap anal. Simtom-simtom yang muncul dianggap mencerminkan hasil perjuangan antara id dan mekanisme pertahanan; kadangkala insting agresif id mendominasi, kadangkala mekanisme pertahanan yang mendominasi. Sebagai contoh, ketika pikiran obsesif untuk membunuh muncul, saat itu dorongan id mendominasi. Namun demikian, lebih sering simtom-simtom yang muncul mencerminkan bekerjanya salah satu mekanisme pertahanan yang hanya separuh berhasil. Sebagai contoh, seorang yang terfiksasi pada tahap anal dapat, melalui formasi reaksi, menahan dorongan untuk berkotor-kotor dan secara konpulsif menjadi rapi , bersih dan teratur.
Alfred Adler (1931) memandang ganguan obsesif kompulsif sebagai akibat dari rasa tidak kompeten. Dia percaya bahwa ketika anak-anak tidak didorong untuk mengembangkan suatu perasaan kompeten oleh orang tua yang terlalu memanjakan atau sangat dominan, mereka mengalami komfleks inferioritas dan secara tidak sadar dapat melakukan ritual kompulsif untuk menciptakan suatu wilayah dimana mereka dapat menggunakan kendali dan merasa terampil. Adler berpendapatbahwa tindakan kompulsif memungkinkan seseorang sangat terampil dalam suatu hal, bahkan jika suatu hal itu hanya berupa posisi menulis di meja.
Teori Behavioral dan Kognitif. Teori behavioral menganggap kompulsif sebagai perilak yang dipelajari yang dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Mayer & Chesser,1970). Sebagai contoh, mencuci tangan secara kompulsif dipandang sebagai respons-pelarian operant yang mengurangi kekhawatiran obsesional dan ketakutan terhadap kontaminasi oleh kotoran dan kuman. Sejalan dengan itu, pengecekan secara kompulsif dapat mengurangi kecemasan terhadap bencana apapun yang diantisipasi pasien jika ritual pengecekan tersebut tidak dilakukan. Kecemasan sebagai mana diukur melalui self-riport (Hidgson & Rachman, 1972) dan respons-respons psikofisiologis (Carr,1971) memang dapat dikurangi dengan perilaku kompulsif semacam itu. Dalam kerangka kerja ini, tindakan kompulsif sangat sering muncul karena stimuli yang menimbulkan kecemasan sulit disadari. Sebagai cntoh, sulit untuk mengetahui kapan kuman tersebut telah dihilangkan oleh ritual pembersihan ( Mineka & Zimbarg, 1996).
Pemikiran lain mengenai pengecekan secara kompulsif adalah bahwa hal itu disebabkan oleh defisit memori. Ketidak mampuan untuk mengingat suatu tindakan secara akurat (seperti mematikan kompor) atau membedakan antara perilaku actual dan perilaku yang dibayangkan (“mungkin saya berpikir telah mematikan kompor”)dapat menyebabkan seseorang berulang kali melakukan pengecekan. Namun demikian, sebagian besar studi menemukan bahwa penderita OCD tidak menunjukkan defisit memori. Sebagai contoh, salah satu studi membandingkan pasien penderita OCD, gangguan panik, dan orang-orang normal pada tes mengenai informasi umum tidak ada perbedaan diantara tiga kelompok dalam jumlah jawaban benar. Namun demikian, para pasien penderita OCD kurang yakin jawaban mereka dibanding dengan kelompok normal (Dar dkk., 2000). Dengan demikian, bila memori relevan dengan OCD, tampaknya hanya merupakan masalah keyakinan terhadap memori seseorang dan bukan memori itu sendiri.
Bagaimana kita menjelaskan pikiran obsesif? Obsesi pasien penderita gangguan obsesif kompulsif biasanya membuat mereka cemas( Rabavilas & Bouloughouris, 1974 ), sama halnya dengan pikiran yang agak mengganggu pada orang-orang normal tentang stimuli yang penuh stress, misalnya film yang menakutkan(Horowitz,1975). Sebagaimana disampaikan sebelumnya, sebagian besar kadang-kadang orang memiliki pemikiran yang tidak diinginkan yang memiliki kesamaan isi dengan obsesi (Rachman&desilva,1978). Pemikiran yang tidak menyenangkan ini bertambah ketika seseorang berada dalam kondisi stress(parkirson&Rachman,1981). Individu normal dapat menoleransi atau menghapus kognisi tersebut. Namun, bagi individu yang menderita gangguan obsesi kompulsif, pikiran – OCD juga dapat dipicu oleh keyakinan bahwa memikirkan tentang kejadian yang berpotensi tidak menyenangkan membuat kejadian tersebut lebih besar kemungkinannya untuk benar-benar terjadi (Rachman, 1997). Orang-orang yang menderita gangguan obsesif kompulsif juga terungkap mengalami kesulitan untuk mengabaikan stimuli yang dapat berkontribusi pada berbagai kesulitan mereka (Clayton, Richards, & Edwards,1999 ).
Orang-orang yang menderita gangguan obsesif kompulsif secara aktif mungkin mencoba menekan pikiran-pikiran yang mengganggu tersebut, namun sering kali dengan konsekuensi yang tidak mengenakkan. Wegner dkk. (1987,1991)Mempelajari apa yang terjadi ketika ornag diminta untuk menekan suatu pikiran. Dua kelompok mahasiswa diminta untuk berpikir tentang seekor beruang putih atau untuk tidak berpikir tentangnya. Satu kelompok berpikir tentang beruang putih kemudian diminta untuk tidak memikirkannya; kelompok lain melakukan hal sebaliknya. Pikiran diukur dengan meminta para peserta mengatakan pikiran mereka dan juga dengan meminta mereka membunyikan bel setiap kali mereka berpikir tentang beruang putih.
Dua penemuan menjadi catatan khusus. Pertama, upaya untuk tidak berpikir tentang beruang putih tidak sepenuhnya berhasil. Kedua, para mahasiswa yang awalnya dilarang memikirkan tentang beruang putih memiliki pikiran tentang hal itu setelah larangan tersebut berakhir. Dengan demikian, mencoba menghilangkan suatu pikiran dapat memberikan efek paradoksial yaitu memunculkan kekhawatiran tentangnya. Terlebih lagi, upaya untuk menekan pikiran yang tidak menyenangkan biasanya berhubungan dengan kondisi emosianal intens, menyebabkan hubungan kuat antara pikiran yang ditekan dan emosi. Setelah melakukan banyak upaya untuk menekan suatu emosi kuat dapat memicu pikiran tersebut untuk kembali, disertai peningkatan mood negative (Wenzlaff, Wegner, & Klein, 1991). Akibatnya adalah meningkatnya kecemasan.
Penjelasan kognitif mengenai OCD sama dengan penjelasan Adler yang dibahas sebelumnya. Dihipotesiskan bahwa OCD (sekurang-kurangnya perilaku kompulsif) didorong oleh kebutuhan yang tidak masuk akal untuk merasa tidak kompeten, bahkan sempurna. Jika tidak demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak dihargai,( Mc fall,&Wollersheim, 1979). Dunia adalah tempat yang penuh ancaman dan jika seseorang merasa memiliki keterbatasan kemampuan untuk menghadapi bahaya yang dipersepsinya, ritual magis mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mencapai rasa memiliki kendali dan kompeten. Yeori kognitif lain menekankan pada asumsi-asumsi yang mendasari (sama dengan pendangan Ellis, cf, hlm.55) misalnya keyakinan bahwa orang harus mampu mengendalikan pikiran-pikirannya( salkovskis,1985 ).
Faktor Biologis. Encephalitis, cedera kepala, dan tumor otak diasosiasikan dengan terjadinya gangguan obsesif-kompulsif (Jenike, 1986). Ketertarikan dipokuskan pada dua area otak yang dapat terpengaruh oleh trauma semacam itu, yaitu lobus frontalis dan ganglia basalis, serangkaian nuklei sub-kortikal termasuk caudate, putamen, globus pallidus, dan amygdala (lihat gambar 6.1). studi pemindaian dengan PET menunjukkan peningkatan aktivasi pada lobus frontalis pasien OCD, mungkin mencerminkan kekhawatiran mereka yang berlebihan terhadap pikiran mereka sendiri. Focus pada ganglia basalis, suatu system yang berhubungan dengan pengendalian perilaku motorik, disebabkan oleh relevansinya dengan kompulsi dan juga dengan hubungan antara OCD dan sindromTourette. Sindrom Taurette ditandai oleh tics motorik dan vokal dan dikaitkan dengan disfungsi ganglia basalis. Pasien yang menderita Tourette sering kali juga menderita OCP (Sheppard dkk.,1999).
Untuk memberikan bukti yang mendukung pentingnya dua bagian otak yang disebut sebelumnya, Rauch dkk (1994) menstimulasi simtom-simtom OCD dengan memberikan stimulasi yang dipilih secara khusus pada para pasien, seperti sarung tangan yang kotor oleh sampah atau pintu yang tidak dikunci. Aliran darah diotak meningkat pada daerah frontalis dan ke beberapa ganglia basalis. Para pasien penderita OCD juga ditemukan memiliki putamen yang lebih kecil dibanting kelompok control (Rosenberg dkk.,1997).
Penelitian terhadap factor-faktor neurokimia memfokuskan pada serotonim. Sebagaimana akan kami bahas nanti, antidepresan yang menghambat pengembalian seretonim terbukti merupakan terapi yang bermamfaat bagi OCD (a.l., Pigott dkk.,1990). Interpretasi umum terhadap penemuan ini adalah karena obat-obatan memfasilitasi transmisi sinaptik dalam neuron serotonim, OCD dikaitkan dengan tingkat serotonim yang rendah atau berkurangnya jumlah reseptor. Namun demikian, pengujian terhadap pemikiran ini tidak memberikan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh, penelitian terhadap obat-obatan yang menstimulasi reseptor seretonim mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut dapat memperarah simtom-simtom OCD, bukan menguranginya (Bastani, Nash, & Maltzer, 1990; Hollander dkk., 1992).
Salah satu penjelasan yang mungkin adalah OCD disebabkan oleh suatu sistem neurotransmiter yang berpasangan dengan serotonim; bila dipengaruhi antidepresen, sistem serotonim menyebabkan perubahan pada sistem lain tersebut, yang meripakan lokasi sebanarnya dari efek terapeutik (barr dkk.,1994). Dopamine dan asetikolin diperkirakan merupakan transmiter yang berpasangan dengan serotonim dan memiliki peran yang lebih penting dalam GOk (Rauch&Jenike, 1993).
Terdapat beberapa bukti atas konstribusi genetik pada OCD. Tinhkat kejadian gangguan anxietas yang tinggi muncul pada kerabat tingkat pertama pasien penderita OCD (Mc Keon & Murray, 1987). Prevalensi OCD juga lebih tinggi pada kerabat tingkat pertama kasus-kasus OCD dibandingkan pada kerabat kelompok kontrol (Nestadt dkk.,2000). Dengan demikian, merupakan suatu kemungkinan bahwa factor-faktor biologis memicu terjadinya gangguan ini pada sementara orang.
Terapi Gangguan Obsesif-Kompulsif
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan salah satu masalah psikologis yang paling ditangani. Sebagai sontoh, studi tindak lanjut yang berlangsung selama 40 tahun menunjukkan bahwa hanya dua puluh persen pasien yang sembuh total (Skoog & Skoog, 1999). Aliran terapeutik utama memiliki dampak yang berbeda terhadap gangguan yang sulit ini. Namun, terlepas dari jenis dan cara penanganan, para pasien OCD jarang memperoleh kesembuhan. Walau berbagai macam intervensi dapat mengakibatkan perbaikan signifikan, kecendrungan obsesif-kompulsif biasanya tetapada hingga satu titik tertentu, walaupun dalam kontrol yang lebih besar dan dengan penampakan yang lebih sedikit dalam gaya hidup pasien (White & Cole, 1990).
Terapi Psikoanalisia. Terapi psikoanalisis untuk obsesi dan kompulsi mirip dengan untuk fobia dan kecemasan menyeluruh, yaitu mengangkat represi dan member jalan pada pasien untuk menghadapi hal yang benar-benar ditakutkannya. Karena pikiran yang mengganggu dan perilaku kompulsif melindungi ego dari konflik yang ditekan , serta, keduanya merupakan target yang sulit untuk intervensi terapeutik, dan prosedur psikoanalisis serta psikodinamika terkait tidak efektif untuk menangani gangguan ini( Esman,1989).
Kelemahan semacam itu memicu beberapa ahli klinis analisis untuk melakukan pendekatan behavioral yang lebih aktif bagi gangguan ini dan mengguanakan pemahaman anlisislebih sebagai cara untuk meningkatkan kesesuaian dengan prosedur behavioral (Jenike,1990). Salah satu pandangan psikoanalisis mengemukakan hipotesis bahwa keragu-raguan yang tampak pada sebagian besar penderita obsesif-kompulsif berasal dari kebutuhan terhadap kepastian benarnya suatu tindakan sebelum tindakan tersebut dilakukan ( Salzman, 1985). Dengan demikian, pasien harus belajar untuk menoleransi ketidak pastian dan kecemasan yang dirasakan semua orang seirng mereka menghadapi kenyataan bahwa tidak ada sesuatu yang pasti atau dapat dikendalikan secara mutlak dalam hidup ini. Fokus akhir dalam terapi tetap berupa insight atas berbagai penyebab simtom yang tidak disadari.
Pendekatan Behavioral : Pemaparan dan Pencegahan Ritual (ERP-Exposure and ritual prevention). Pendekatan behavioral yang paling banyak digunakan dan diterima secara umum untuk ritual kompulsif, yang dipelopori di inggris oleh Victor Meyer (1966), mengombinasikan pemaparan dengan pencegahan respons (ERP) (Rachman & Hodgson, 1980). Pendekat tersebut baru-baru ini berganti nama yaitu pemaparan dan pencerahan ritual untuk menggarisbawahi keyakinan magis yang dimiliki para penderita OCD bahwa perilaku kompulsif mereka akan mencegah terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dalam metode ini (kadang disebut flooding) seseorang memaparkan dirinya pada situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif- seperti memegang piring kotor-kemudian menghindari untuk tidak melakukan ritual yang biasa dilakukannya – yaitu mencuci tangan. Asumsinya adalah bahwa ritual tersebut merupakan penguatan negatif karena mengurangi kecemasan yang ditimbulkan oleh suatu stimulus atau peristiwa dalam lingkungan, seperti debu dikursi.mencegah seseorang melakukan ritual akan memaparkannya pada stimulus yang menimbulkan kecemasan sehingga memungkinkan terhapusnya kecemasan tersebut. Kadang pemaparan dan pencegahan ritual ini dilakukan melalui imajinasi, terutama jika tidak memungkinkan untuk melakukannya secara nyata, contohnya, bila seseorang percaya bahwa ia akan terbakar dineraka jika gagal melakukan ritual tertentu.
Penelitian terkontrol (a.l., Duggan, Marks & Richards, 1993; Foa, Steketee, & Ozarow, 1985; Stanlay & Turner, 1995) menunjukkan bahwa terapi ini cukup efektif bagi lebih separuh pasien penderita OCD, termasuk anak-anak dan remaja (Franklin & Foa, 1998; March, 1995). Dalam sample asli Meyer yang terdiri dari 15 pasien, hanya dua yang mengalami kekambuhan dalam studi tindak lanjut selama lima tahun (Meyer & Levy, 1973). Dalam studi baru-baru ini oleh Edna Foa dan rekan-rekannya, 86% pasien yang menyelesaikan terapi dinilai telah mengalami perbaikan hingga tingkat yang signifikan secara klinis(Franklin, Abramovitz, Kozak, Levitt & Foa, 2000). Jika depresi merupakan bagian dari gambaran klinis, seperti terjadi pada hampir separuh penderita OCD, terapi behavioral yang terlalu keras ini sangat kurang efektif (Abramovitz, Franklin, Street. Kozak,& Foa ,2000).HAL INI Tidak mengherankan, mengingat tingginya upaya dan komitmen yang dituntut dari pasien yang menjalani terapi ERP.
Kadangkala control terhadap ritual obsesif-kompulsif hanya mungkin dilakukan dirumah sakit. Kenyataannya, dalam laporan pertama tentang ERP, Meyer(1966) menciptakan lingkungan terkontrol dirumah sakit Middlesex di London untuk menangani OCD. Para anggota staf dilatih secara khusus untuk membatasi kesempatan pasien melakukan tindakan ritualistic. Pelaksanaan terapi dirumah membutuhkan keterlibatan seluruh anggota keluarga. Menyiapkan mereka untuk pekerjaan tersebut bukanlah tugas yang mudah, memerlukan keterampilan dan kepedulian terlepas dari apapun teknik behavioral spesifik yang diterapkan. Terdapat bukti-bukti awal bahwa melibatkan keluarga dalam ERP menambah efektivitas terapi (Mehta,1990). Merupakan praktik klinis umum – dan, menurut pendapat kami, merupakan sesuatu yang wajar – untuk memasukkan bantuan dan dukungan keluarga dalam prosedur jenis terapi ini ( Foa & Franklin, 2001).
Dalam jangka pendek, menahan diri untuk tidak melakukan ritual yang biasa dilakukan merupakan sesuatu yang sulit dan sangat tidak menyenangkan bagi klien. ( jika pembaca ingin mengetahui bagaimana rasanya menahan diri untuk tidak melakukan ritual kompulsif, cobalah menunda menggaruk rasa gatal selama satu atau dua menit). Hal itu juga biasanya mencakup pemaparan selama lebih dari 90 menit selama 15 hingga 20 sesi dalam tiga minggu, dengan instruksi untuk juga berlatih diantara pelaksanaan sesi. Bila terapi Meyer sering kali mencakup pemaksaan secara fisik agar suatu ritual tidak dilakukan, praktik-praktik kontemporer, yang biasanya dilakukan diluar rumah sakit, menekankan dorongan dan dukungan dari terapis dan orang-orang yang dekat dengan pasien (Foa & Franklin, 2001). Kadangkal pemaparan nyata diberikan untuk melengkapi pemaparan imaginal, seperti dalam terapi Meyer, namun tidak jelas apakah hal tersebut meningkatkan efektivitas pemaparan nyata ( DeAraujo, Ito, Marks,& Deale, 1995) hingga 25% pasien menolak terapi ( Foa dkk., 1985). Penolakan untuk menjalani terapi dan berhenti ditengah jalan merupakan salah satu masalah yang diakui secara umum dalam banyak intervensi bagi OCD ( Jenike & Rauch, 1994). Para pasien GOK cenderung melakukan prokrastinasi, takut terhadap perubahan, dan sangat khawatir orang lain mengontrol mereka – karakteristik yang dapat diperkirakan akan menciptakan masalah-masalah khusus terhadap pendekatan manipulatif seperti terapi prilaku.
Terapi Perilaku Rasional Emotif. Beberapa bukti mendukung efektivitas terapi perilaku rasional emotif untuk mengurangi OCD (a.l., Emmelkamp & Beens, 1991). Pemikirannya dalah membantu pasien menghapuskan keyakinan bahwa segal sesuatu mutlak harus berjalan seperti yang mereka inginkan atau bahwa segala tindakan yang mereka lakukan harus mutlak memberikan hasil sempurna. ( perhatikan persamaan dengan salah satu pendekatan psikoanalisis yang telah dibahas sebelumnya). Terapi kognitif dari Beck juga dapat bermamfaat ( Van Oppen dkk.,1995). Dalam pendekatan ini , pasien didorong untuk menguji ketakutan mereka bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika mereka melakukan ritul kompulsif. Jelaslah, bagian tak terpisahkan dalam terapi kognitif semacam itu adalah pemaparan dan pencegahan respons ( atau ritual ), karena untuk mengevaluasi apakah tidak melakukan ritual kompulsif akan memberikan konsekuensi yang memberikan pasien harus memahami diri untuk tidak melakukan ritual tersebut.
Penanganan Biologis. Obat-obatan yang meningkatkan level seretonim, seperti SSRI dan beberapa tricyclic, merupakan penanganan biologis yang paling sering diberikan kepada pasien dengan gangguan obsesif – kompulsif. Kedua kelompok obat-obatan tersebut telah memberikan hasil yang menguntungkan, walaupun perlu dicatat bahwa suatu kajian terhadap penanganan farmakologis oleh dua psikiater merendahkan pentingnya ERP sebagai pendekatan baris pertama (Rauch & Jenike, 1998). Beberapa studi menemukan anti depresen tricyclic kurang efektif dibandingkan ERP ( Balkom dkk., 1994), dan suatu studi terhadap antidepseren menunjukkan perbaikan dalam ritual kompulsif hanya pada pasien OCD yang juga menderita depresi ( Marks dkk., 1980). Dalam studi lain, mamfaat antidepresen tricyclic bagi OCD ternyata hanya berjangka pendek; penghentian obat ini memicu 90 persen tingkat kekambuhan, jauh lebih tinggi dibandingkan pada pencegahan respon (Pato dkk., 1988). Diatas segalanya, gambaran mengenai efektivitas antidepresen tricyclic tidak pasti.
Penelitian menunjukkan bahwa penghambat pengemalian seretonim, seperti fluoxetime (Prozac) menghasilkan perbaikan lebih besar bagi pasien OCD dibanding placebo atau tricyclic (Kroning dkk., 1999). Namun demikian, keuntungan yang dihasilkan kecil dan simtom-simtom akan terjadi kembali jika pemakaian obat dihentikan (Franklin & Foa, 1998; Mc Dougle dkk.,1994). Tetap menggunakan obat-onatan memang mengurangi resiko kekambuhan (Koran dkk.,2002). Tidak jelas apakah obat tersebut berhasil secara spesifik pada OCD atau pada depresi terkait (Barr dkk., 1994; Tollefson dkk., 1994). Semua obat antidepresan memiliki efek samping yang tidak mendorong sebagian orang untuk tetap menggunakannya; beberapa contoh, termasuk rasa mual, insomnia,agitasi ,mengganggu keberfungsian seksual, dan bahkan beberapa efek negatif bagi jantung dan system peredaran darah (Rauch & Jenike, 1998).
Penilaian teknologi dalam pengukuran berbagai aspek aktivitas otak (lihat hal 131- 135) mendorong para peneliti untuk mencari perubahan otak yang disebabkan oleh intervensi terapiutik. Salah satu studi yang pantas dicatat membandingkan fluoxetime (Prozac) dengan pemaparan nyata plus pencegahan respons dan menemukan bahwa perbaikan kondisi OCD yang dihasilkan oleh kedua terapi tersebut diasosiasikan dengan perubahan yang sama dalam fungsi otak,yaitu, berkurangnya aktivitas metabolik dan caudate nucleus kanan, dimana aktivitas yang berlebihan dikaitkan dengan OCD (Baxter dkk., 1992). Hanya para pasien yang ecara klinismengalami perbaikan kondisi menunjukkan perubahan aktivitas otak tersebut sebagaimanaterukur oleh pemindaian PET. Penemuan semacam itu menunjukkan bahwa berbagai terapi yang benar-benar berbeda dapat berhasil karena alasan yang sama, karena berbagai terapi tersebut menggunakan cara yang berbeda untuk memengaruhi faktor-faktor yang sama pada otak. Perlu dicatat dalam studi Baxter dkk, para pasien terapi obat masih menerima pengobatan selama pemindaian PET pasca terapi, sedangkan pasien terapi perilaku tidak dan tidak dapat, dalam arti apapun, berada dalam terapi, yaitu menjalani pencegahan respons aktif terhadap ritual.
Rasa putus asa para pekerja kesehatan mental, yang hanya bias dilampaui oleh keputusasaan para pasien, menjadi sebab jarangnya digunakan pembedahan psikologi dalam menangani obsesi dan kompulsi. Penggunaan prosedur ini, cingulatomi, termasuk menghancurkan dua hingga tiga sentimeter bagian putih dalam cingulum, satu bagian didekat corpus callosum. Walaupun dilaporkan cukup menghasilkan perbaikan klinis dan mamfaat penanganan dapat dipertahankan (Dougherty dkk., 2002, Irle dkk., 1998), intervensi ini secara benar dipandang sebagai penanganan jalan terakhir mengingat sifatnya yang permanen serta resiko pembedahan psikologi dan pemahaman yang sangat kurang terhadap cara kerjanya.
5. Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stres Disorder – PTSD)
Seorang penyanyi berusia 27 tahun dirujuk oleh seorang teman untuk menjalani evaluasi. Delapan bulan sebelumnya, kekasihnya telah menjalani korban penusukan hingga meninggal dalam suatu peristiwa penodongan, sedangkan dia dapat menyelamatkan diri tanpa terluka sedikitpun. Setelah melewati masa berkabung, tampaknya ia telah kembali normal. Dia membantu penyelidikan polisi dan secara umum dinilai sebagai saksi ideal. Namun demikian, tidak lama setelah penangkapan tersangka pembunuhan kekasihnya, pasien mulai berulang kali mengalami mimpi buruk dan ingatan yang sangat jelas tentang malam terjadinya kejahatan tersebut. Dalam mimpi-mimpinya dia sering melihat dirinya dikejar oleh orang yang mengancam dan tertutup wajahnya. Siang hari, terutama ketika berjalan sendirian, dia sering kali terhanyut dalam lamunan sehingga lupa kemana dia akan pergi. Teman-temannya mengamati bahwa dia mulai mudah terkejut dan tampaknya selalu khawatir akan sesuatu. Dia meninggalkan uang kembalian atau barang belanjaannya di toko atau ketika menunggu tidak dapat mengingat apa yang akan dibelinya. Tidurnya mulai gelisah dan pekerjaannya terganggu karena tidak dapat berkonsentrasi. Pelan-pelan dia mulai menarik diri dari teman-temannya dan mulai menghindari pekerjaannya. Dia merasa bersalah atas pembunuhan kekasihnya, walaupun tidak tahu secara pasti mengapa demikian. (Spitzer dkk., 1981, hlm. 17)
Gangguan stress pascatrauma (Postraumatis Stress Disorder PTSD), dimasukkan sebagai diagnosis dalam DSM-III, mencakup respons ekstrem terhadap suatu stressor berat, termasuk meningkatkan kecemasan, penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan trauma dan tumpulnya respons emosional. Walaupun selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa stress perang dapat menimbulkan efek negative yang sangat kuat pada para tentara, namun berakhirnya perang Vietnamlah yang mendorong diterimanya diagnosis baru tersebut. Seperti halnya gangguan lain dalam DSM, PTSD ditentukan oleh sekelompok simtom. Namun, tidak seperti definisi gangguan psikologis lain, definisi PTSD mencakup bagian dari asumsi etiologinya, yaitu suati kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya.
Dalam edisi-edisi DSM sebelumnya kejadadian traumatis didefinisikan sebagai “di luar rentang pengalaman manusia.” Definisi ini sangat terbatas karena akan menggugurkan diagnosis PTSD setelah kejadian seperti kecelakaan mobil atau kematian orang yang dicintai. Definisi lebih luas yang digunakan saat ini mungkin juga sangat terbatas karena difokuskan pada karakteristik objektif peristiwa dan bukan pada makna subjektifnya (King dkk., 1995)
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pascatrauma dan gangguan stress akut, suatu diagnosis yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami trauma mengalami stress, erkadang hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal. Jika stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian social dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress akut. Jumlah oaring yang mengalami stress akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang mereka alami. Dalam peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat tinggi, lebih dari 90% (Rothbaum dkk., 1992). Trauma yang tidak seberat itu, seperti berada di tengah penembakan missal atau mengalami kecelakaan bermotor, angka penderitanya jauh lebih rendah, contohnya 13% pada kecelakaan bermotor (Bryant &Harvey, 1998; Classen dkk., 1998). Walaupun beberapa orang dapat mengatasi gangguan stress akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderit aPTSD (Brewin dkk., 1999). Dengan demikian, PTSD dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negative terberat terhadap stree (Ruscio & Keane 2002).
Dimasukanya stress berat dalam DSM sebagai factor penyebab signifikan PTSD dimaksudkan untuk menunjukkan pengakuan resmi bahwa penyebab PTSD yang utama adalah peristiwa yang terjadi, bukan yang bersangkutan. Terlepas dari penyimpulan secara impulsive bahwa sesorang akan baik-baik saja seandainya ia terbuat dari material yang lebih keras, dalam definisi ini pentingnya situasi yang menyebabkan trauma secara resmi diakut (Haley, 1978). Namun, banyak orang yang menegalami kejadian traumatis, tetapi tetapi tidak menderita PTSD. Sebagai contoh, dalam suatu dalam suatu studi, hanya 25% orang yang mengalami kejadian traumatis yang menyebabkan cidera fisik kemudian menderita PTSD (Shalev dkk., 1996). Dengan demikian kejadian itu kejadian itu sendiri tidak bisa menjadi penyebab tunggal PTSD. Penelitian dewasa ini telah mengarah pada pencarian factor-faktor yang membedakan antara orang-orang yang menderita dan tidakmenderita PTSD setelah mengalami stress berat.
Simtom-simtom PTSD dikategorikan menjadi 3 kelompok utama. Diagnosis dapat ditegakkan jika simtom-simtom dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.
1. Mengalami Kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat pula kejadian tersebut danmengalami mimpi buruk tentang kejadian tersebut. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut. Dalam suatu konfirmasi laboraturium terhadap simtomini, tes Stroop diberikan kepada para veteran perang Vietnam yang menderita maupun yang tidak menderita PTSD (McNally dkk., 1990). Dalam tes ini para peserta melihat sekumpulan kata yang dicetak dengan warna yang berbeda dan harus menyebutkan warna setiap kata secepat mungkin dan bukan menyebutkan kata tersebut. Interferensi, yang diukur sebagai melambatnya waktu respons, muncul karenamakna beberapa kata. Kata yang berasal yang berasal dari beberapa kategori yang berbeda—netrak (a.l., “input”), positif (a.l., “cinta”), gangguan obsesif kompulsif (a.l., “kuman”), dan PTSD (a.l., “kantong mata”)—digunakan dalam studi ini. Para veteran yang menderita PTSD lebih lambat dibanding para veteran yang tidak menderita PTSD lebih lambat dibanding veteran yang tidak menderita PTSD hanya ketika pada kata-kata yang menyimbolkan PTSD. Efek yang sama juga terjadi pada korban pemerkosaan (Foa dkk., 1991). Secara sama, para pasien penderita PTSD menunjukkan ingatan yang lebih baik terhadap kata-kata yang berkaitan dengan trauma yang dialami (Vrana, Roodman, & Beckhan, 1995).
Pentingnya mengalami kembali tidak dapat diremehkan karena kemungkinan merupakan penyebab simtom-simtom kategori lain.
2. Beberapa teori PTSD membuat mengalami kembali sebagai cirri utama dengan mengatribusikan gangguan tersebut pada ketidakmampuan untuk berhasil mengintegrasikan kejadian traumatic ke dalam skema yang ada saat ini (keyakinan umum seseorang terhadap dunia luar) (a.l., Foa, Zinberg, & Rothbaum, 1992; Horowitz, 1986).
3. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau Mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau manghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut; dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Simtom-simtom ini tampaknya hamper kontradiktif dengan simtom-simtom pada item1. Pada PTSD kenyataannya terdapat suatu fluktuasi; penderita bergantian mengalami kembali & mati rasa.
4. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, dan respons terkejut yang berlebihan. Berbagai studi laboraturium menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan mendokumentasikan meningkatnya reaktivitas fisiolois pada pasien penderita PTSD trhadap pencitraan pertempuran (a.l., Orr dkk, 1995) dan respons-respons terkejut yang sangat tinggi (Shalev dkk., 2001).
Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan anxeitas lain, depresi, kemarahan , rasa bersalah, penyalahgunaan zat (mengobati diri sendiri untuk meringankan distress), masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, disfungsi seksual, dan hendaya dalam pekerjaan (Bremer dkk., 1996; Jacobsen, Southwick, &Kosten, 2001; Zatzick dkk., 1997). Pikiran dan rencana untuk bunuh diri umum terjadi, seperti juga insiden ledakan kekerasan dan masalak psikofisiologis yang behubugan dengan stress, seperti sakit punggung bawah, sakit kepala, dan gangguan system penceraan (Hobfoll dkk., 1991).
Menurut DSM, anak-anak dapat menderita PTSD,s erring kali merupakan respons karena menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk., 2000). Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda dengan orang dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk tentang monster umum terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak yang semula periang menjadi pendiam dan menarik diri atau seorang anak yang smeula pendiam menjadi kasar dan agresif. Ebberapa anak yang mengalami trauma mulai berpikir bahwa mereka tidak aakn hidup mencapai usia dewasa. Beberapa anak kehilangan keterampilan perkembangan yang sudah dikuasaim seperti berbicara atau menggunakan toilet. Terakhir, anak-anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan mereka dibanding orang dewasa, suatu hal yang sangat penting untuk diingat bila terdapat kemungkinan penyiksaan fisik atau seksual.
Tingkat prevalensi PTSD berkisar antara 1 hingga 3 persen dalam populasi mum AS (Hlezer, Robins, & McEvoy, 2987), yang berarti lebih dari 2 juta orang. Bahkan jumlah yang lebih besar menderita bentuk subsindromal PTSDD yang tidak cukup berat atau cukup banyak untuk menegakkan diagnosis, namun cukup untuk menyebabkan penderitaan dan kerusakan besar (Stein dkk., 1997). Angka kejadian PTSD sangat tinggi (22 persen) pada suku Amerika pribumi di wilayah barat daya (Robin dkk., 1997). Memiliki kejadian traumatis (Breslau dkk., 1998). Prevalensi bervariasi tergantung pada beratnya trauma yang dialami; berkisar 3 persen pada penduduk sipil yang telah mengalami serangn fisik, 20 persen pada orang-orang yang terluka di Vietnam, dan berkisar 50 persen pada korban pemerkosaan dan orang-orang yang menjadi tawanan perangdalm Perang Dunia II atau Perang Korea (Engdahl dkk., 1997 Rothbaum dkk., 1992). Berdasarkan suatu survey telepon, ditetapkan bahwa 7 persen dariorang-orang dewasa yang tinggal di sebelah jalan 110 di New York city (tepat di sebelah utara World Trade Center) menuturkan simtom-simtom yang dapat didiagnosis PTSD menyusul serangan eroris 11 September 2001. Presentase ini jauh lebih tinggi di antara orang-orang yang tinggal lebih dekat dengan lokasi bencana di Manhattan bagian bawah (Galea dkk., 2002). Trauma yang paling sering memiliki PTSD adalah kehilangan orang yang dicintai, yaitu sekitar sepertiga dari seluruh kasus ((Breslau dkk., 1998).
Etiologi Gangguan Stress Pascatrauma
Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada factor-faktor risiko terhadap gangguan tersebut dan juga pada factor-faktor psikologis dan biologis.
Faktor-Faktor Risiko. Terdapat beberapa factor risiko PTSD. Memiliki kejadian traumatis yang dialami, predictor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orang tua di masa kecil, riwayat gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya, dan gangguan yang dialami sebelumnya (suatu gangguan snxietas atau depresi) (Breslau dkk., 1997, 1999; Ehlers, Malou, &Bryant, 1998; Nishith, Mechanic, & Resick, 2000, Stein, 1997) memiliki inteligensi tinggi tampaknya menjadi factor protektif, mungkin karena hal itu di asosiasikan dengan keterampilan coping yang lebih baik (Macklindkk., 1998).
Simtom-simtom disasosiatif (termasuk depresonalisasi, derealisasi, amnesia, dan pengalaman keluar dari tubuh) pada saat trauma juga meningkatkan kemungkinan terjadinya PTSD, seperti juga upaya menghapus ingatan trauma tersebut dari pikiran seseorang (Ehlers, Mayou, & Bryant, 1998). Disasosiasi dapat memiliki peran dalam menetapnya gangguan karena mencegah pasien menghadapi ingatan tentang trauma tersebut. Sebuah studi yang meyakinkan mengenai disosiasi mengukur orang-orang yang pernah diperkosa dua minggu setelah kejadian tersebut.
Perkembangan PTSD juga diasosiasikan dengan kecendrungan untuk bertanggungjawab sendiri atas kegagalan dan untuk menghadapi stress dengan memfokuskan pada emosi (“Saya berharap dapat mengubah perasaan saya”) dan bukan pada masalah itu sendiri (Mikhliner &Solomon, 1988; Solomon, Mikulincev, &Flum, 1988). Secara umum, menghadapi trauma dengan mencoba menghindari untuk berpikir tentang hal itu dikaitkan dengan terjadinya PTSD (Sharkansky dkk., 2000). Rasa akan adanya komitmen dan tujuan yang kuat membedakan para veteran Perang Teluk yang tidak menderita PTSD dengan mereka yang menderita PTSD (Sutker dkk., 1995). Tingkat dukunagn social yang tinggi juga mengurangi risiko PTSD pada anak-anak yang mengalami trauma tentagn topan Andrew (Vernberg dkk., 1996).
Teori-teori Psikologis. Para teoris berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengondisian klasik terhadap rasa takut (Firbank & Brown. 1987; Keane, Zimering, * Caddell, 1985). PTSD merupakan contoh utama dalam teori dua factor mengenai avoidance learning yang diajukan bertahun-tahun lalu oleh Mowrer (1947; lihat hlm. 55). Terdapat sekumpulan bukti yang mendukung pandangan ini (Orr dkk., 2000) dan berkaitan dengan teori-teori kognitif behavioral yang menekankan hilangnya kendali dan prediktibilitas yang dirasakan orang-orang yang menderita PTSD (Chemtob dkk., 1998; Foa & Kozak, 1986).
Suatu teori Psikodinamika yang diajukan oleh Horowitz (1986, 1990) menyatakan bahwa ingatan tentang kejadian traumatic munculk secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka menspresinya (melalui distraksi contohnya) atau merepresinya.
Teori-Teori Biologis. Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan kemungkinan diathesis genetic dalam PTSD (Hettem, Neale, & Kendler, 2001). Terlebih lagi, trauma dapat mengaktifasi system noradrenerdik, meningkatkan level noreprinefin sehingga membuat orang lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan emosi dibandingkan kondisi normal. Konsisten dengan pandangan ini, adalah penemuan bahwa level norepinefrin lebih tinggi pada pasien dan kilas balik pada 40 persen penderita PTSD; tidak ada satupun dari peserta kelompok control yang mengalami hal semacam itu (Southwick dkk., 1993). Terakhir terdapat bukti mengenai meingkatnya sensitivitas reseptor-reseptor noradrenergic pada penderita PTSD (Bremner dkk., 1998).
Terapi Gangguan Stress Pascatrauma
Seperti halnya berbagai hal gangguan anxietas yang telah dibahas sejauh ini, penanganan bagi PTSD—terlepas dari orientasi teoritis terapis—mencakup pemaparan terhadap stimuli yang menimbulkan ketakutan. Namun, dalam kasus PTSD didefinisikan sebagai reaksi kecemasan terhadap kejadian traumatic yang dikenal, pemaparan dilakukan terhadap kejadian asli yang menimbulkan ketakutan atau, lebih sering, terhadap deskripsi verbal atau citra kejadian tersebut. Sebagaimana beru-beru ini diungkapkan oleh Keane dan Barlow (2002), strategi umum ini dapat ditelusuri hingga ke Pierre Janet dan Sigmund Freud dan telah memiliki beberapa bentuk selama abad terakhir.
Debriefing Stress Insiden Kritikal. Terdapat area spesialisasi yang sedang berlembang—kadangkala disebut traumatologi , kadangkala konseling duka cita, kadangkala debriefing—yang terdiri dari berbagai macam professional kesehatan mental (psikolog, psikiater, pekerja social, dan konselor yang telah menjalani pelatihan professional minimal) walaupun teknik-teknik yang mereka gunakan berbeda, terdapat persamaan dalam hal kepercayaan yang telah lama dianut bahwa hal terbaik adalah mengintervensi sebanyak mungkin korban selamat dalam 24 hingga 27 jam setelah terjadinya peristiwa traumatic, tepat sebelum PTSSD memiliki kesempatan untuk berkembang, dan mendorong mereka untuk mengkaji secara detail apa yang telah terjadi fdan mengkspresikan sekuat mungkin ekspresi mereka tentang kejadian mengerikan tersebut (Bell, 1995). Selain itu, persamaan di antara para pekerja tersebut adalah mereka berangkat secapt mungkin ke lokasi bencana kadangkala diundang oleh otoritas lokel (seperti dalam pascaserangan World Trade Center) kadangkala tidak demikian—dan menawarkan (para pengkritik menyebutnya memaksakan intervensi mereka kepada para korban selamat dan keluarganya. Mengintervensi dalam masa ketika orang-orang berada dalam fase akut periode pascatrauma umumnya. Disebut sebagai intervensi krisis atau debriefing stress insiden kritikal (critical incident stress debriefing—CISD) (Mitchell &Bray, 1990).
Pendekatan meneluruh ini cukup controversial. Menurut pendapat banyak ahli, berbagai studi mengenai hasil terapeutik CISD dan berbagai prosedur terkait tidakmendukung efektivitasnya, dan cukup banyak penelitian mutakhir yang menunjukkan bahwa pendekatan tersebut lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya (a.l., Mayou dkk., 2000). Kritik mendasar adalah bahwa, segera setelah terjadinya suatu bencana, hal terbaik adalah para korban mendaptkan dukungan social yang biasanya diperoleh dalam keluarga serta komunitas mereka dan bahwa pemaksaan, bahkan jika dilakukan secara halus dan dengan maksud baik, yang dilakukan oleh orang asing tidak akan membantu, bahkan dapat mengganggu serta member efek buruk (Gist, di media). Bahaya dapat muncul karena baik setelah trauma terjadi, mungkin para korban lebih baik dibiarkan sendiri bersama keluarganya daripada di dorong atau dipaksauntuk mengingat sesuatu yang belum siap mereka hadapi.
Penting diingat bahwa mayoritas orang yang mengalami trauma tidak lantas menderita PTSD.
Kritik lain terhadap CISD mendukung posisi eksistensial bahwa penderitaan merupakan bagian normal kehidupan dan bahwa, setelah bencana, seseorang tidak perlu menghindar dari rasa sakit dan duka cita, namun lebih memanfaatkan kejadian traumatic tersebut sebagai kesempatan untuk menghadapi berbagai krisis kehidupan yang tidak dapat dihindari dan menemukan hikmah dibaliknya. Dengan demikian, setelahbeberapa waktu bangkit dengan suat keyakinan yang lebih kuat terhadap hal-hal penting dalam hidup.
Pendekatan di Masa Perang. Selama Perang Dunia II para tentara yang “telah bertempur” sering kali ditangani oleh narkosintesis (Grinker & Spiegel, 1944), suatu prosedur yang dapat dianggap sebagai katarsis dengan bantuan obat a la Breuer. Tentara diinjeksi dengan sodium Pentothal ked lam pembuluh darah, dalam dosis yang cukup untuk menimbulkan rasa kantuk ekstrem. Terapis kemudian menyatakan dengan suara meyakinkan bahwa tentara tersebut sedang berada di medan pernag, di peperangna tertentu. Pasien biasanya mulai mengingat, sering kali dengan emosi trauma sesungguhnya dihidupkan kembali dan bahkan diperagakan oleh pasien. seiring pasien secara bertahap kembali sadar, terapis kembali mendorong pembahasan mengenai kejadian mengerikan dengan harapan bahwa pasien akan menyadari bahwa kejadian tersebut adalah masa lalu, dan bukan lagi merupakan ancaman. Dengan cara ini diharapkan akan terjadi suatu sintesis, atau kemunculan bersama, kengerian masa lalu dengan kehidupan pasien saat ini (Cameron &Mrgaret, 1951).
Veterans Administration, yang melayani para veteran Perang Dunia II dan Perang Korea, pada awalnya tidak disiapkan untuk menangani maslaah psikologis para veteran Vietnam. Awalnya, banyak yang dikeluarkan dari organisasi tersebut dengan “surat buruk”, yaitu, dikeluarkan dengan tidak hormat. Tindakan yang dapat membuat seorang tentara dikeluarkan dengan cara yang tidak dikehendaki mencakup alkoholisme dan ketergantungan obat (Kidder, 1978); tampaknya diantara beberapa veteran tersebut menderita trauma pertempuran. Pada tahun 1979, enam tahun setelah penandatanganan gencatan senjata dengan Vietnam Utara, barulah pemberhentian dengan tidak hormat terseut diperbaiki sebagai hasil bantuan American Civil Administration (M. Beck, 1979). Sebagaimana disebutkan di awal bagian ini , PTSD sebagai diagnosis resmi dimasukkan sebagai diagnosis yang dijabarkan secara jelas dan resmi pada tahun 1980 dengan terbitnya DSM-III. Tampaknya politik Perang Vietnam berperan dalam pengakuan resmi PTSD.
Walaupun demikian, pada taun 1971, psikiater Robert Jay Liftonj dihunungi oleh para veteran anti perang dari wilayah New York- New Heaven untuk bekerja sama dengan mereka untuk membentuk kelompok-kelompok diskusi. Dipelopori oleh para veteransendiri, kelompok ini memiliki dua tujuan; tujuan terapeutik untuk menyembuhkan diri sendiri dan tujuan politis untuk mendorong masyarakat Amerika untukmulai memahami korban manusia dalam perang (Liftom, 1976). Kelompok diskusi tersebut menyebar ke luar New York City hingga tahun 1979ketika kongres menyetujui paket sebesar 25 juta dollar untuk membentuk Operation Outreach, suatu jaringan yang terdiri dari 91 pusat konseling di depan gudan gpenyimpanan militer bagi para veteran Vietnam yangmengalami masalah psikologis. Pada tahun 1981 pendanaan diperpanjang 3 tahun.
Pendekatan Kognitif dan Behavioral. Penelitian terkendali mengenai penanganan PTSD telah meningkat pesat dalam tahun-tahun terakhir seiring dengan lebih banyak perhatian yang difokuskan pada kondisi pascatrauma, seperti bencana alam, penyiksaan, pemerkosaan, dan terutama pertempuran. Penelitian mutakhir dalam terapi kognitif perilaku menghasilkan beberapa temuan berdasarkan ebberapa studi yang menggunakan pengukuran teliti, rincian penganganan, dan kelompok control yang tepat.
Sebagaimana yang sudah diketahui pembaca saat ini, prinsip dasar terapi perilaku berbasis pemaparan adalah bahwa cara terbaik untuk mengurangi atau menghapus rasa takut adlaah dengan menghadapkan orang yang bersangkutan dengan sesuatu yang paling dihindarinya. Semakin banyak bukti yang muncul mengindikasikan bahwa pemaparan terstruktur terhadap kejadian yang berkaitan dengan trauma, kadangkala dalam imajinasi, seperti dalam desensitisasi sistematik, memberikan sesuatu yang kebih bermanfaat dari pengobatan medis, dukungan social, atau berada dalam lingkungan terapeutik yang aman (Foa & Meadows, 1997; Keane, 1995; Marks, Lovell, Noshirvani, Livanou, & Thraser, 1998).
Teknologi baru realitas virtual (virtual reality-VR) mulai digunakan bagi GSPT untuk membuat pemaparan menjadi lebih dramatis dan lebih nyata dibanding yang dapat dimunculkan dalam imajinasi pasien. Satu studi yang menggunakan teknologi VR menunjukkan manfaat terapeutik dengan meminta para veteran Vietnam melakukan penerbangan dengan helicopter dalam VR lengkap dengan suara pertmpuran (Rothbaum dkk., 1999).
Bagaimana cara kerja pemaparan? Kita telah membahas kemungkinan bahwa pemaparan mengarah pada penghapusan respons ketakuan. Namun, pemaparan juga dapat mengubah makna stimuli bagi orang terkait. Pandangan kognitif ini dijabarkan oleh Edna Foa dan para koleganya dalam sejumlah studi dan makalah teoritis. Merekan menekankan aspek-aspek korektif pemaparan terhadap hal yang ditakuti.
Pemaparan menyebabkan berkurangnya simtom-simtom dengan kemungkinan pasien menyadari sesuatu yang berlawanan dengan pemikiran-pemikiran mereka yang salah yaitu bahwa (a) berada dalam situasi yang secara objektif aman yang mengingatkan seseorang pada trauma merupakan sesuatu yang tidaj berbahaya; (b) mengingat trauma tidak sama dengan mengalaminya lagi; (c) kecemasan tidak dialami tanpa batas ketika berada dalm situasi yang ditakuti atau ketika mengalami situasi tersebu, namun justru berkurang bahkan tanpa melakukan penghindaran; dan (d) mengalami simtom-simtom kecemasan/ptsd tidak lantas menyebabkan hilangnya kendali. (Foa & Meadows, 1997, hlm. 462)
Bagaimanapun cara kerja pemaparan, tidak ada keraguan mengenai efektivitasnya dalammengurangi efek trauma, termasuk yang terjadi karena penyerangan seksual (hlm. 617-618)
Pada tahun 1989, Sharpio (1989) mulai mempublikasikan suatu pendekatan untuk menangani trauma yang disebut Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). EMDR ini dimaksudkan untuk diklakukan sangat cepat—sering kali hanyamemerlukan satu atau dua sesi—dan lebih efektif dibanding prosedur pemaparan standar yangn telah dijelaskan sebelumnya. Dalam prosedur ini, pasien membayangkan suatu situasi yang berkaitan dengan masalahna, seperti kecelakaan mobil yang mengerikan. Dengan teteap membayangkan situasi tersebut, pasien memandang jari terapis dan mengikutinya dengan pandangannya eiring terapis menggerakannya maju mundur kira-kira satu kaki di depan pasien. Proses ini berlangsung kira-kira selama satu menit atau sampai pasien menuturkan bahwa kengerian bayangan tersebut telah berkurang. Kemudian terapis meminta pasien menceritakan semua pikiran negative yang muncul dalam pikirannya, sekali lagi dengan mengarahkan pandangannya pada jari tapis yang terus bergerak. Terakhir, terapis mendorong pasien untuk berpikir secara lebih positif, seperti “Saya dapat mengatasi hal ini” dan hal ini juga dilakukan sambil memandang jari-jari terapis yang bergerak.
Sangat banyak kontroversi berkaitan dengan teknik ini (atau berbagai teknik, karena spesifikasi terapi telah berubah sejak pertama kali dikembangkan), dan pendapat terpolarisasi dengn cara yang jarang terjadi dalam ilmu pengetahuan. Di satu sisi para pendukung EMDR beragumentasi bahwa mengombinasikan gerakan mata dan pikiran tentang kejadian yang ditakuti menyebabkan pendekondisian atau pemrosesan ulang (restrukturisasi kognitif) stimulus yang menakutkan secara cepat (a.l., Shapiro, 1995, 1999). Di sisi lain studi menunjukkan bahwa gerakan mata tidak memberi tambahan apapun pada hasil pemaparan itu sendiri (a.l., Cahill, Carrigan, Frueh, 1999; Devilly, Spence, & Rapee, 1998; Hazlett-Stevens, Lytle, & Borkovec, 1996, dikutip dalam Lohr dkk., 1998; Renfrey & Spates, 1994) dan bahwa klaim efektivitas dilandasi berbagai eksperimen yang memiliki banyak kelemahan metodologis (of. Lohr, Tolin, & Lilienfeld, 1998; Resick & Calhoun, 2001; Rosen, 1999; Tolin dkk., 1996). Selain itu teori yang mendasari EMDR dikritik tidakkonsisten dengan apa yang diketahui tentang dasar-dasar psikologi dan ilmu saraf mengenai pembelajaran dan fungsi otak (a.l., Keane, 1998; Lohr dkk., 1998).
Pendekatan Psikoanalisis. Pendekatan Psikoanalisa dari Horowitz 1988, 1990) memiliki banyak persamaan dengan penanganan yang disebutkan diatas karena dia mendorong pasien untuk membahas trauma dan memaparkan diri mereka pada kejadian yang memicu PTSD. Namun ia menekankan cara trauma berinteraksi dengan kepribadian pratrauma pasien, dan penanganan yang ditawarkannya juga memiliki banyak persamaan dengan berbagai pendekatan psikoanalitik lain, termasuk pembahasan mengenai pertahanan dan analisis reaksi transferensi oleh pasien. Terapi kompleks ini memerlukan verifikasi empiris. Beberapa studi trkendali yang dilakukan sejauh ini hanya memberikan sedikit dukungan empiris terhadap efektivitasnya (Foa & Meadows, 1997).
Pendekatan Biologis. Terakhir, berbagai obat-obatan psikoaktif telah digunakan untuk para pasien PTSD, termasuk antidepresan dan tranquilizer. Kadangkala pengobatan digunakan dalam mengaasi berbagai kondisi yang dialami yang dialami bersamaan PTSD, seperti depresi; perbaikan kondisi depresi dapat berkontribusi terhadap perbaikan kondisi PTSD terlepas dari bagaimana penganganan terhadap PTSD itu sendiri (contohnya dengan salah satu dari berbagai intervensi psikologi yang dibahas di atas (Marshall dkk., 1994)). Beberapa keberhasilan kecil dilaporkan diperoleh dalam penggunaan antidpresan, terutama penghambat pengembalian serotonin (Brady dkk., 2000)
Adapun modal intervensi spesifik, para ahli PTSD sepakat bahwa dukungan social adalah hal penting. Kadangkala menemukan cara untuk member dukungan pada orang lain dpaat membantu si pemberi dan si penerima sekaligus (Hobfoll dkk., 1991). Menjadi anggota kelompok religious; memiliki keluarga, teman-teman, aau sesaman individu yang mengalami trauma yang mendengarkan penuturan tentang ketakutan dan ingatan seseorang tentang suatu trauma tanpa menghakimi; dan menemukan cara lain untuk menumbuhkan kepercayaan yang dimiliki seseorang dan bahwa orang lain ingin membantu mengurangi rasa sakit dapat menghasilkan perbedaan antara stress pascatrauma dan gangguan pascatrauma.
Penelitian-Penelitian Terkait Gangguan Kecemasan
· An experimental investigation of hypervigilance for threat in children and adolescents with post-traumatic stress disorder karya T. DALGLEISH,A. R. MORADI, M. R. TAGHAVI, H. T. NESHAT-DOOST & W. YULE
Penelitian ini meneliti bias dalam perhatian visual untuk bahan emosional pada anak dan remaja dengan kelompok post-traumatic stress disorder (PTSD) dan kelompok kontrol yang sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja dengan PTSD, relatif terhadap kontrol, pengolahan sumber daya dialokasikan selektif terhadap rangsangan mengancam sosial dan jauh dari rangsangan depresi terkait. Ini menghindari attentional informasi depresi terkait dalam PTSD peserta menurun dengan usia.
· Positive affect regulation in anxiety disorders karya Lori R Eisner, Sheri L. Johnson & Charles S. Carver
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang tanggapan terhadap positive affect (PA) pada orang dengan gejala fobia sosial, gangguan kecemasan umum, gangguan panik, agorafobia, dan obsesif-kompulsif. Kecenderungan untuk meredam PA dan kemampuan untuk menikmati PA diperiksa pada sampel sarjana. Mengingat komorbiditas tinggi depresi dan kecemasan, analisis eksplorasi lebih dikontrol untuk gangguan kecemasan umum. Hasil menunjukkan bahwa salah satu atau kedua ukuran mempengaruhi regulasi membuat kontribusi yang unik dan substansial untuk memprediksi setiap gangguan kecemasan kecuali agoraphobia, atas dan di luar prediksi yang diberikan oleh gejala depresi dan gangguan kecemasan umum.
Rangkuman
· Orang-orang yang menderita gangguan anxietas menunjukkan kekhawatiran berlebihan yang sebenarnya tidak perlu. DSM-IV-TR membuat enam diagnosis utama : gangguan fobik, gangguan panik, gangguan anxietas menyeluruh, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stress pasca trauma, dan gangguan stress akut.
· Fobia adalah ketakutan luar biasa yang tidak masuk akal yang mengganggu kehidupan seseorang yang sebenarnya normal.Gangguan ini relative umum terjadi.fobia social adalah ketakutan terhadap situasi sosialdimana seseorang mungkin diamati oleh orang lain. Fobia spesifik mencakup ketakutan terhadap hewan, ketinggian, tempat tertutup, dan darah serta penyuntikan.
· Pandangan psikoanalis tentang fobia adalah fobia merupakan pertahanan terhadap konflik yang ditekan. Para teoris behavioral mempunyai beberapa pemikiran mengenai terjadinya fobia melalui pengondisian klasik, pemasangan suatu objek atau situasi yang tidak berbahaya dengan suatu kejadian traumatik; melalui pengondisian operant, dimana seseorang mendapatkan hadiah dengan melakukan penghindaran; melalui modeling, meniru ketakutan dan penghindaran orang lain; dan melalui kognisi, dengan menganggapkecelakaan sosial sebagai suatu bencana yang sebenarnya dapat dipahami dengan cara yang tidak terlalu negative. Namun, tidak semua orang yang memiliki pengalaman semacam itu kemudian menderita fobia. Kemungkinan terdapat diathesis fisiologis yang diturunkan secara genetik yang memicu beberapa orang menderita fobia.
· Pasien yang mengalami gangguan panic mengalami serangan kecemasan luar biasa secara mendadak, tanpa dapat dipahami, dan periodik. Serangan panik kadangkala memicu ketakutan dan penghindaran untuk berada diluar rumah, yang dikenal sebagai agoraphobia.
· Gangguan panik terjadi dalam keluarga, mengindikasikan kemungkinan diathesis genetik. Teori-teori psikologis tentang serangan panik menyatakan bahwa serangan tersebut dikondisikan secara klasik terhadap berbagai sensasi fisik internal atau sensasi tersebut dipahami secara salah, dan mengakibatkan terjadinya serangan panik.
· Dalam gangguan anxietas menyeluruh, yang terkadang disebut free-floating anxiety, individu dikuasai dengan ketegangan, kecemasan, dan kekhawatiran yang hamper selalu dialami.
· Teori psikoanalisis mengenai penyebab gangguan anxietas menyeluruh merupakan konflik bawah sadar antara ego dan impuls-impuls id. Teori-teori kognitif-behavioral menyatakan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh proses-proses kognitif yang menyimpang. Pendekatan biologis memfokuskan pada neurotransmitter GABA, yang jumlahnya mungkin kurang pada penderita gangguan tersebut.
· Orang-orang yang menderita gangguan obsesif-kompulsif memiliki pemikiran yang mengganggu serta tidak dikehendaki dan merasakan dorongan kuat untuk melakukan ritual stereotip yang jika tidak dilakukan akanmenyebabkan merasa dikuasai tingkat kecemasan yang menakutkan. Gangguan ini dapat melumpuhkan, tidak hanya mengganggu kehdupan orang yang mengalaminya namun juga orang-orang didekat si penderita.
· Menurut Teori Psikoanalisis gangguan obsesif-kompulsif disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau agresif yang tidak dapat dikendalikan karena toilet training yang terlalu keras. Yang bersangkutan kemudian terfiksasi pada tahap anal. Simtom-simtom yang muncul dianggap mencerminkan hasil perjuangan antara id dan mekanisme pertahanan; kadangkala insting agresif id mendominasi, kadangkala mekanisme pertahanan yang mendominasi. Sebagai contoh, ketika pikiran obsesif untuk membunuh muncul, saat itu dorongan id mendominasi. Namun demikian, lebih sering simtom-simtom yang muncul mencerminkan bekerjanya salah satu mekanisme pertahanan yang hanya separuh berhasil.
· Gangguan Stress Pascatrauma adalah masa setelah pengalaman traumatis dimana seseorang mengalami peningkatan kemunculan, penolakan stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian traumatis yang dialami, dan kecemasan yang disebabkan oleh ingatan terhadap peristiwa tersebut
· Ditandai dengan adanya kejadian traumatis. Simtom-simtom PTSD dikategorikan menjadi 3 kelompok utama:
a. Mengalami Kembali kejadian traumatis
b. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau Mati rasa dalam responsivitas
c. Simtom-simtom peningkatan ketegangan
Daftar Pustaka
· Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
· Wade & Tavris. 2007. Psikologi 9th edition. Jakarta : Erlangga
· www.google.com
· www.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar