Minggu, 15 Januari 2012

Akhlak Tasawuf

AKHLAK TASAWUF


Pertanyaan
1. Jelaskan bagaimana proses terjadinya akhlak menurut tokoh!


2. Bagaimana cara meredam syahwat & emosi (ghadab)?


3. Jelaskan teori etika ideal!


Jawaban
1. Secara etimologi, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab bentuk jama’ “akhlaqa”. Bentuk tunggal (mufradat)-nya ialah “khulqu” yang memiliki beberapa arti berikut: sajiyyah (perangai); muruu’ah (budi); thab’u (tabi’at); dan adaab (adab). (Al-Mu’jam al-Wasith).


Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Linguistik, kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jama’ dari kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlaq. (Abudin Nata, 1996: 2).


Dari segi terminologi, terdapat beberapa pengertian akhlak:
a. Menurut Ibnu Miskawaih: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. (Miskawaih, 1934).
b. Menurut Al-Ghazali: “Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”. (Al-Ghazali, t.t).
c. Menurut Ahmad Amin (1993: 62)), dia menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli, menyatakan bahwa: Akhlak adalah kebiasaan berkehendak.
Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia secara berturut- turut. Oleh karena itu dalam pengertian akhlak mengandung makna kebiasaan. Menurut Rahmad Djatika adat (kebiasaan) adalah perbuatan yang diulang-ulang, dimana untuk menjadikan terbiasa diperlukan proses yakni:
a. Adanya pengulangan yang cukup banyak, sehingga mudah mengarjakan tanpa perlu memikirkan lagi.
b. Adanya iradah (kehendak yakni kemenangan dari keinginan setelah mengalami bimbingan. Proses terjadinya iradah yakni: timbulnya keinginan-keinginan setelah ada stimulus melalui inderanya, timbulnya kebimbanagn antara yang harus dipilih atau yang didahulukan diantara sekian banyak pilihan, mengambil keputusan atau menentukan keinginan yang dipilih.


Sementara itu proses terbentuknya akhlak menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
v Niat: hasil dari perbuatan yang mempertimbangkan masukan berupa ilham dan was-was
v Prilaku: ekspresi niat dengan kesadaran dan pemikiran, biasanya masih ada rasa keterpaksaan
v Kebiasaan: setelah perilaku dibiasakan maka ia menjadi ringan untuk dilakukan, tidak ada rasa berat dalam melakukan itu
v Akhlak: jika kebiasaan itu diinternalisasikan lebih dalam maka akan terbentuklah pebuatan yang muncul tanpa pemikiran dan pertimbangan lagi. Pada level ini pelaku akan selalu merasakan kenikmatan melakukan akhlak terkait.
Dari bagan diatas dituliskan hal itu bermula dari sebuah wacan ke deskontruksi menuju rekonstruksi, dari sebuah niat ia lakukan sehingga menjadikan sebuah perilaku. Perilaku dilihat kuantitas masih lemah. Ketika kuantitasnya dinaikan maka hal itu akan menjadikan sebuah kebiasaan. Walaupun kuantitas sudah baik namun secara kualitas belum. Maka ketika kualitasnya dianikan maka menjadi sebuah akhlak. Patokan ia sudah menjadi akhlak adalah ketika ia sudah merasa nikmat menjalankan perintah Allah dan berat untuk meninggalkannya.
Proses pembentukan akhlak diawali dengan terbentuknya niat di dalam diri kita. Niat merupakan keinginan kuat didalam hati untuk melakukan sesuatu. Niat juga merupakan asas segala perbuatan sehingga keduanya berkaitan dalam hal kebaikan dan keburukan, serta kesempurnaan dan kerusakan.
Menurut Al-Ghazali dalam teori Dinamika Perbuatan, niat merupakan hasil dari perdebatan batin yang mempertimbangkan masukan berupa ilham dan was-was. Niat datang karena adanya ilham yang bersifat positif (datang nya dari Allah) dan was-was yang bersifat Negatif (datangnya dari syetan dan iblis). Ilham adalah pengaruh yang allah berikan dalam jiwa seorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Batin yang menentukan Ilham untuk masuk kepada niat, maka niat itu akan menghasilkan niat yang baik. Sebaliknya, was-wass merupakan bisikan halus dari setan yang mengajak seseorang untuk berbuat maksiat dan dosa. Niat yang dimasuki oleh Was-was akan menghasilkan niat yang jelek atau tercela, karena datangnya dari Iblis/Syetan. Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah didalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam didalam hatinya. Oleh karena itu, niat merupakan awal yang sangat penting bagi pembentukan akhlak manusia. Karena, nuat dapat dikatakan sebagai penentu bagaimana perilaku, kebiasaan dan akhlak kita nantinya.
Pada proses pembentukan akhlak, tingkat kedua adalah perilaku. Perilaku dalam Dinamika perbuatan Al-Ghazali merupakan Ekspresi niat dengan kesadaran dan pemikiran, dalam perilaku biasanya masih ada unsur keterpaksaan. Dari niat yang kuat akan terbentuk suatu perilaku. Perilaku dibentuk oleh niat dengan kesadaran dan pemikiran. Di sini peran akal manusia berkembang. Dan menentukan perilaku yang akan di tampilkan. Bila niat yang ada dalam diri kita lemah, maka perilaku yang kita tampilkan akan nampak penuh keterpaksaan. Karena, tidak adanya keselarasan. Namun, sebaliknya jika niat kita tinggi dan batin kita pun menerimanya, maka perilaku yang akan kita tampilkan akan menjadi penuh ketulusan.
Proses pembentukan akhlak yang selaanjutnya, adalah kebiasaan. Kebiasaan terbentuk karena adanya perilaku yang terus-menerus berualang atau dibiasakan, sehingga telah menjadi rutinitas sehari-hari. Seseorang yang telah terbiasa dalam melakukan suatu hal, maka dalam mengerjakan suatu hal tersebut tidak akan merasa berat atau terbebani. Contohnya, kebiasaan bangun pagi-pagi di hari minggu untuk berolah-raga.
Yang terkahir ialah pembentukan akhlak. Niat, perilaku, dan kebiasaan yang kita lakukan itu akan membentuk akhlak kita. Menurut imam Al-Ghazali akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahirnya berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Akhlak terbentuk jika kebiasaan itu diinternalisasikan lebih dalam maka akan terbentuklah perbuatan yang muncul tanpa pemikiran dan pertimbangan lagi.
Akhlak terbentuk diawali dengan niat. Kita sudah membicarakan niat bermula dari sebuah ide, yang kemudian menguat menjadikan sebuah Azam(tekat kuat) hingga ia menjadi Niat=>Perilaku=> Kebiasaan=> Akhlak.
Oleh karena itu, Akhlak seseorang itu bisa saja baik atau buruk, hal tersebut tergantung pada niat seseorang dan proses-proses jalannya niat kepada perilaku, kebiasaan dan menuju kepada akhlak.
2. Emosi merupakan salah satu hasil kerja dari sinergi unsur fisik dan psikis. Menurut Walgito (2004) emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus), dan emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.


Emosi mempunyai bentuk yang berbeda-beda, misalnya senang, sedih, marah, takut atau gejala-gejala lain yang merupakan respon dari bekerjanya indera manusia. Salah satu emosi yang sering muncul dalam diri kita adalah emosi marah (ghadab). Marah merupakan salah satu satu fitrah manusia yang muncul ketika kebutuhan (needs) dan motif (motive) mereka terhalangi atau terhambat untuk dipenuhi. Menurut Al-Ghazali (dalam Mujib, 2007) penyakit marah (ghadab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-harȃrah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (al-ruthȗbah) dalam diri manusia. Hal ini telah disabdakan oleh Rasulallah SAW. bahwa “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan dan sejelek-jelek orang adalah orang yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha”. (HR. Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudriy).


Rasulallah SAW. telah mengajarkan kita untuk mengatasi rasa amarah yang ada di dalam diri kita. Amarah yang disertai dengan bisikan dan tipu daya setan akan mengakibatkan manusia tersesat dan terjerumus kepada murka Allah SWT. Maka Allah melalui syari’atNya yang agung ini melindungi kita dari segala kelicikan dan keburukan-keburukan setan. Allah SWT. berfirman “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf [7] : 200).


Rasulallah SAW. bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Hiban). Kemudian dalam hadis yang lain Rasul bersabda “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad). Selanjutnya di dari Imam Ahmad, dia meriwayatkan “Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam Ahmad).


Berdasarkan dalil-dalil nash tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa posisi atau keadaan tubuh bisa mempengaruhi emosi manusia, begitu juga dengan air (wudhu) yang memberikan efek positif untuk melawan rasa marah. Hal ini tentu berkaitan dengan keimanan seseorang terhadap Allah SWT. Jika dilandasi iman yang kuat tentu orang akan mudah percaya dengan obat yang ditawarkan Rasul ini. Namun, jika iman kita lemah atau bahkan tidak beriman maka barang tentu orang akan mempertanyakan perkataan Rasul ini. Disinilah permasalahannya, Islam merupakan agama yang rahmatallil’ȃlamȋn “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyȃ’ {21} : 107). Maka disini kita berusaha melakukan objektifikasi keilmuan, yaitu penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif (Kuntowijoyo,2007). Dimana konsep-konsep yang bersifat mistis di dalam dalil-dalil naqli akan di terjemahkan sesuai dengan konteks saat ini tanpa mengubah hakikat dari syari’at Allah Yang Maha Sempurna. Sehingga rahmat yang dibawa oleh Islam bisa dirasakan oleh semua manusia, bukan cuma orang Islam, tapi seluruh umat manusia. Dengan begitu seluruh kebenaran-kebenaran yang ada dalam Islam akan diakui oleh seluruh umat manusia karena kebenaran Islam yang selama ini bersifat mistis (tekstual) telah diungkap secara kontekstual.


Menurut Asy-Syahawi (2005) ada dua cara untuk mengatasi marah yang tengah bergejolak, yaitu dengan ilmu pengetahuan dan dengan amal perbuatan. Namun, pada bahasan ini kita akan mencoba menguraikan dan mendalami cara mengatasi marah dengan cara amalan (perbuatan) yang meliputi sebagai berikut:


a. mengucapkan isti’ȃdzah ketika amarah datang, yaitu dengan mengucapkan “A’ȗdzubillȃhi minasysyaithanir rajȋm”, artinya aku berlindung dengan Allah dari Godaan Syetan yang terkutuk. Allah SWT. berfirman “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf {7} : 200).
b. berdiam diri. Dari Ibnu Abbas ra. menceritakan bahwa Rasulallah SAW. pernah bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam Ahmad). Berdiam diri merupakan obat yang sangat mujarab untuk meredam rasa marah karena biasanya orang-orang yang sedang marah suka mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak baik. Ini disebabkan tidak terkontrolnya lisan karena dorongan nafsu setan yang kuat dari dalam dirinya. Maruq Al-Ajali pernah mengugkapkan suatu ungkapan yang indah dan bijak serta dalam maknanya “Aku tidak pernah kenyang dengan kemarahan, dan tidak pernah berbicara saat marah dengan sesuatu yang kelak akan menjadi penyesalan setelah aku memaafkan”.
c. merubah posisi. Dalam hal ini, jika kita sedang marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah kita duduk, kalau tidak reda juga maka hendaklah kita berbaring. Rasulallah SAW. pernah bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban). Kemudian Rasulallah SAW. juga memerintahkan kepada kita untuk untuk menempelkan diri ke tanah, tujuannya agar kita semakin menyadari hakikat diri kita yang hina, sehingga bisa menghilangkan kesombongan dan keangkuhan yang ada di dalam diri kita. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudry ra. yang berbunyi “Sesungguhnya kemarahan itu adalah percikan api yang menyala di dalam hati manusia, tidakkah kalian memperhatikan (orang-orang yang marah) kedua matanya memerah dan raut wajahnya mengerut? Jika salah seorang diantara kalian merasakan hal itu maka hendaklah ia menempelkan diri ke tanah.” (HR. Imam Ahmad).
Perilaku menempelkan diri ke tanah akan menimbulkan sifat rendah diri (tawadhu’), karena biasanya kemarahan disertai dengan rasa angkuh dan penuh kesombongan. Ketika kita menempelkan diri ke tanah, maka akan mengingatkan kita kepada asal mula penciptaan kita.
d. Segera untuk berwudhu. Ketika marah menghampiri seseorang maka hendaklah ia segera untuk berwudhu. Rasul SAW. bersabda “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad). Ibnu Qoyyim Al-Jauziah mengatakan “Tidak seorangpun dapat memadamkan gejolak emosi dan nafsu birahi kecuali dengan wudhu dan salat. Adapun wudhu, karena ia adalah air dan amarah adalah api, dimana api dapat dipadamkan dengan air. Sedangkan salat, karena ia adalah munajat kepada Allah dan amarah timbul dari bisikan setan, bagaimanapun langkah setan tidak akan bisa menghalangi kehendak Allah. inilah kebenaran nyata yang tidak perlu membutuhkan bukti dan logika.” (Bada’ul fawaid, 2/494-495, Ibnu Qoyyim Al-Jauziah).
Selain itu cara meredam syahwat & emosi (ghadab) adalah dengan proses tazkiyah. Menurut Ziauddin Sardar proses tazkiyah itu dapat dilakukan melalui 6 instrumen, yaitu zikir (ingat kepada Allah), ibadah (pemujaan kepada Allah), taubat (mencari pengampunan Allah), sabar (semangat ketekunan), hasabah (kritik diri) dan doa (permohonan).


Sementara menurut Abu Abd al-Barra Sa’ad ibn Muhammad al-Takhisi yakni dengan melalui proses wasilah, yaitu hubungan personall dengan Allah. Proses itu mencakup 5 hal yaitu:


a. Melalui pintu ubudiyah mahdah secara ikhlas. Hal itu tesebut tercermin melalui ketubdukan, kepatuhan, dan merasa butuh kepada Allah.
b. Memperbagus ibadah, ini merupakan wasilah terpenting dalam tazkiyah.
c. Menerima kitab Alah engan menghapal, membaca, tadabbur, memahami, mmegang teguh apa yang dihalalkan dan diharamkannya. Mengambil pelajarn dari kisah-kisahnya untuk bekal kehidupan sehari-hari.
d. Memahami sejarah Nabi dan mengikuti petunjuknya.
e. Muhasabah (intropeksi dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Sedangkan Al-Ghazali lebih memusatkan pada zikir, dimana zikir dapat dikelompokkan menjadi 4 macam yaitu:


a. Menyatakan keesaan Allah (tahlil)
b. Mengagungkan nama-Nya (tasbih)
c. Memohon ampunan-Nya (istigfar)
d. Memuja Allah (tahmid)
3. Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian.Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal yang digunakan.


a. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah rasio atau akal pikiran, karena dalam bertasawuf mereka menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya.
b. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang [hijab] yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.
c. Pada tasawuf amali pendekatan yang digunkan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarekat. Dengan mengamalkan tasawuf, baik yang bersifat falsafi, akhlaki maupun amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa. (Nata, 1997: 18).
Sementara itu tujuan akhir dari tasawuf adalah untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Imam Al-Ghazali menentukan kriteria bagi seseorang yang dinilainya sudah mencapai tujuan tersebut; yaitu ia harus memiliki empat macam sikap hidup yang disebutnya sebagai ra’sul-akhlaq, yang dimaksudkannya sebagai puncak dari seluruh akhlak baik yang diperbuat mansuia atau disebut juga akhlak yang ideal. Keempat macam sikap hidup yang dimaksudkan di atas adalah:


Pertama, Al-Hikmah (bijaksana), yaitu kemampuan jiwa yang dapat mengekang hawa nafsu, mengendalikan amarahnya dan sanggup melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan Allah SWT pada setiap saat.


Kedua, Al-Iffah (menjaga kesucian diri), yaitu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menjauhi hal-hal yang tidak mengandung kebaikan, sehingga sikap hidup seseorang selalu terhindar dari perbuatan yang hina, lalu terarah kepada perbuatan yang mulia.


Ketiga, Asy-Syaja’ah (keberanian), yaitu sikap hidup yang selalu berani membela kebenaran agama dan negara dari berbagai ancaman tanpa ragu-ragu, karena ia sadar tentang kewajiban dan tanggung jawabnya untuk membela kebenaran itu.


Keempat, Al-‘Adlu (keadilan), yaitu sikap hidup yang selalu menempatkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya, baik ia sebagai pimpinan rumah tangga atau masyarakat, maupun sebagai orang yang dipimpin, sehingga ia dapat memberikan hak-hak orang lain dengan sebaik-baiknya.


Sementara itu Teori Etika Ideal (Al-akhlak Al-fadilah) itu sendiri menurut Al-Ghazali yaitu dimana daya ruhani manusia terdiri dari 4 macam yakni:


a. Daya pikir/ rasio ( Al-Quwwah al-‘Aqliyah)
b. Daya Marah/Agresi ( Al-Quwwah al-Ghadlabiyah)
c. Daya seksualitas (Al-Quwwah al-Syahwaniyah)
d. Daya Imaginatif (Al-Quwwah al-Wahmiyah)
Setiap manusia memiliki keempat 4 macam daya ruhani yang kadarnya berbeda-beda, apabil aterlalu sedikit atau terlalu banyak maka dapat dikatakan idela, sementara jika tidak terlalu banyak atau sedikit maka kadar tersebutlah yang dikatakan ideal berikut ini akan dijelaskan mengenai konsekuensi dari kadar masing-masing daya ruhani:


a. Daya rasio/pikir apabila kadarnya terlalu sedikit maka orang tersebut dapat dikatakan bodoh, karena ia hanya sedikit menggunakan akal pikirannya dalam kehidupannya. Sedangkan jika kadarnya terlalu banyak maka manusia akan menjadi licik, dimana karena terlalu pintar maka menjadikan manusia itu cenderung licik atau membodohkan orang lain. Sementara jika kadarnya sedang / ideal dalam menggunakan daya pikir ini maka seseorang dapat dikatakan bijaksana (al-hikmah) dimana karakteristik dari sifat bijaksana ini yakni: memiliki akal sehat dan berpikir sistematis, memiliki interpretasi yang baik, tajam dan radikal dalam berpikir dan juga visioner yakni prediksinya tepat.
b. Daya Marah/agresi apabila kadarnya terlalu sedikit maka orang tersebut dapat dikatakan pengecut, karena ia hanya sedikit menggunakan daya marahnya dalam kehidupannya. Sedangkan jika kadarnya terlalu banyak maka manusia akan menjadi beringas dan cenderung memiliki sikap agresi terhadap orang lain. Sementara jika kadarnya sedang / ideal dalam menggunakan daya marah/agresi ini maka seseorang dapat dikatakan berani (al-syaja’ah) dimana manusia ini berani dalam menghadapi kenyataan, cobaan, dan teguran dalam hidupnya. Semetara itu ciri dari manusia yang memiliki sifat berani ini yaitu: bersifat mulia, tenang, berjiwa besar, mmiliki hati yang lapang, penyabar, tabah dalam meghadap kenyataan hidup, memiliki kehormatan diri, kesatria, dan berwibawa.
c. Daya Seksualitas apabila kadarnya terlalu sedikit maka orang tersebut dapat menjadi lesu dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan jika kadarnya terlalu banyak maka manusia akan menjadi serakah/ hiper. Sementara jika kadarnya sedang / ideal dalam menggunakan daya seksualitas ini maka seseorang dapat dikatakan suci (al-‘iffah) dimana seseorang mampu menjaga syahwatnya.sementara ciri dari orang menjaga kesucian syahwatnya yani: sopan, pemalu, pemaaf, sabar, dermawan, memiliki pertimbanagn yang baik, ramah, humornya baik dan memiliki self-control yang baik, merasa cukup (qana’ah), rendah hati, wara’, hatinya merasa bahagia, suka menolong dan bijak dalam mengambil keputusan.
d. Daya imaginatif apabila kadarnya terlalu sedikit maka orang tersebut dapat menjadi lemah dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan jika kadarnya terlalu banyak maka manusia akan menjadi otoriter. Sementara jika kadarnya sedang / ideal dalam menggunakan daya imaginatif ini maka seseorang dapat dikatakan adil (al-‘Adalah). Ciri seseorang yang adil dapat dilihat dari berbagai aspek yakni:
Ø Keadilan politik menjamin ketentraman wilayah


Ø Keadilan moral menjamin ketentraman jiwa


Ø Keadilan ekonomi menjamn ketentraman transaksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar